Senin, November 25, 2024
spot_img
BerandaSumutRKUHP, Antara Dekolonisai atau Neokolonisasi

RKUHP, Antara Dekolonisai atau Neokolonisasi

Medan (Waspada Aceh) – Publik berharap Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) dapat menghilangkan nuansa kolonial. Namun sayangnya masih terdapat pasal-pasal yang memunculkan perdebatan seperti ketentuan penghinaan presiden dan ketentuan pemberitahuan demonstrasi.

Wamenkumham RI, Edward OS Hiariej menyatakan, nuansa kolonial RKUHP ada pada Buku I KUHP Indonesia dibuat pada tahun 1800 yang pada saat itu aliran klasik yang fokusnya keadilan retributif.

“KUHP yang berlaku saat ini tidak mengenal standar pemidanaan, sehingga dalam hal pemidanaan diberikan kewenangan penuh pada hakim. Sedangkan pada RKUHP diberikan pagar-pagar agar hakim tidak dapat sembarangan dalam memutus suatu perkara,” kata Edward dalam webinar dengan tema “Politik Hukum RKUHP: Antara Dekolonisasi atau Neokolonisasi” yang digelar @advokatkonsitusi, Sabtu (24/9/2022).

Selain itu, katanya, dalam RKUHP pidana penjara bukan pidana utama. Hakim wajib memberikan pidana yang lebih ringan seperti pidana pengawasan dan pidana kerja sosial.

Sejalan dengan pendapat Eddy, Yenti Garnasih yang merupakan salah satu tim pembentuk RKUHP juga mengeluhkan bahwa Indonesia telah merdeka 77 tahun namun masih belum mempunyai KUHPnya sendiri.

“Indonesia harus memiliki RKUHP yang sesuai dengan living law dan semangat yang dimiliki oleh Indonesia.” tutur Yenti.

“RKUHP tidak bernuansa kolonial karena misi pembaharuan RKUHP adalah untuk menghilangkan karakter kolonial yang secara mendasar diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda secara terstruktur, sistematis dan masif. Demokratisasi RKUHP sudah disesuaikan dengan Amandemen UUD NRI tahun 1945, juga dengan putusan-putusan MK. Karena presiden dipilih bersama-sama oleh seluruh warga negara, oleh karenanya presiden harus dilindungi dari tindak pidana penghinaan.” sambungnya.

Menurutnya, konsolidasi adalah penyusunan kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan aturan di luar KUHP (tindak pidana khusus). Selain itu, RKUHP juga sejalan dengan UU unjuk rasa yang tidak bicara tentang izin demonstrasi, namun tentang pemberitahuan.

“Hukum pidana merupakan peradaban bangsa Indonesia. Ketentuan KUHP yang bersifat kolonial harus dihapus karena bertentangan dengan pancasila. Kompolnas siap mengawasi penyidik nantinya dalam menjalankan RKUHP yang berdasarkan pada supremasi hukum, bukan pada kemauan atasan,” kata Yusuf Warsyim selaku Anggota Kompolnas RI.

Pembicara terakhir Despan Heryansyah juga berharap agar Indonesia memiliki KUHP sendiri.

“Dalam RKUHP masih terdapat beberapa pasal bermasalah. Di dalam RKUHP kita menyerahkan kemerdekaan kita, oleh karenanya apabila terdapat pelanggaran dalam proses pembuatannya seharusnya tidak terjadi. Prinsip dasar demokrasi adalah partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik,” ujarnya.

Acara berlangsung secara meriah ditandai dengan antusiasme para peserta yang memberikan pertanyaan secara langsung maupun di kolom komentar kepada narasumber. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER