Senin, November 25, 2024
spot_img
BerandaOpiniRishi Sunak dan Anies Baswedan

Rishi Sunak dan Anies Baswedan

“Dibanding dengan Sunak, Anies Baswedan memiliki warisan kejuangan dari kakeknya sebagai pendiri Negara Indonesia 77 tahun lalu”

Oleh: Dr.Syahganda Nainggolan

Rishi Sunak, 42 tahun, keturunan India, istrinya India, telah dilantik menjadi orang nomer satu di Inggris kemarin. Satu miliar empat ratus juta penduduk India ikut merayakan pelantikan itu, penuh bangga.

Berbagai media internasional dan lokal (India), pada 24 Oktober 2022, mengaitkan Hari Raya Hindu, Diwali, hari kemenangan kebaikan atas keburukan. Memberikan dua berkah besar, yakni India menang Cricket atas Pakistan dan dilantiknya Sunak sebagai Perdana Menteri Inggris.

Kejadian ini membawa kenangan manusia pada seorang bernama Mahatma Gandhi. Pada 129 tahun lalu, Gandhi yang baru menyelesaikan kuliahnya dibidang hukum di Inggris, menggigil kedinginan di stasiun kereta api Pietermaritzburg, Afsel. Gandhi diturunkan paksa di stasiun itu oleh petugas kereta karena dia naik kereta kelas bisnis. Tujuannya masih jauh ke Pretoria.

Kelas bisnis hanya untuk kulit putih, namun tidak dicantumkan di tiket. Awalnya Gandhi menolak turun. Tapi apa daya. Bahkan, Gandhi ketakutan untuk mengambil selimutnya di tas. Akhirnya dia merintih dalam kedinginan sepanjang malam. Namun, dari sinilah Gandhi mulai bangkit menjadi pemimpin Bangsa India.

“I was born ini India, but was made in South Africa”, kata Gandhi sebagai mana dimuat The Hindu, 2019, dalam artikel “A visit to Pietermaritzburg station, where Gandhi was pushed off the train in South Africa”. Artikel ini juga memuat hari itu adalah hari kebangkitan “Satyagraha”. Gandhi marah dengan diskriminasi rasial yang menimpanya. (Sebagai catatan ajaran Satya Graha atau menolak kerja sama dengan musuh telah mengilhami perjuangan Bung Karno).

Gandhi (dan Nehru) berhasil memerdekan India 74 tahun lalu dari Inggris. Inggris telah menjajah India selama 89 tahun, setelah mereka tercatat menduduki Benggali tahun 1757 (190 tahun sebelum merdeka). Setelah kemerdekaan, orang-orang India menjadikan Inggris sebagai tempat utama migrasi, baik untuk mengais rejeki maupun menggapai pendidikan tinggi.

Beberapa waktu lalu, seorang menteri Inggris mempersoalkan banyaknya orang India yang tidak pulang ke India, melewati batas visa kunjungan yang diberikan. Namun, tanpa bisa dibayangkan, sekarang orang India bukan lagi menjadi pedagang kelontong di London, tapi dengan Sunak menjadi Perdana Menteri, telah jadi orang tertinggi.

Jauh dari London, di Indonesia seorang keturunan Arab, Anies Baswedan, 53 tahun, telah dilantik Partai Nasdem, beberapa waktu lalu, sebagai kandidat Presiden Indonesia 2024. Puluhan ribu rakyat tumpah ruah di Jakarta melepaskan Anies dari posisi Gubernur DKI tanggal 16 Oktober 2022. Mereka semakin cinta kepada Anies, kususnya sejak dia dicalonkan sebagai Presiden RI.

Drone Emprit, lembaga survei model tercanggih, Crowdsourcing Method, menunjukkan kepopuleran Anies Baswedan jauh sekali di atas kandidat lainnya, di medsos saat ini, antara lain 4,4 kali lipat dari Ganjar Pranowo dan 16,7 kali dari Prabowo.

Namun, jalan panjang masih menghantui Anies Baswedan, karena dia masih membutuhkan partai pendukung lainnya.

Lalu untuk apa judul artikel ini membandingkan Rishi Sunak dan Anies Baswedan?

Pertama adalah soal warna kulit. Sebagai India, Sunak saat ini menjadi simbol kebhinekaan. The New York Times, 24 Oktober 2022 membuat berita dengan judul “Sunak’s Ascent Is a Breakthrough for Diversity, With Privilege Attached”. Penerimaan rakyat Inggris ini sekaligus penerimaan atas dua simbol minoritas, bukan kulit putih dan bukan Kristen, sebagai pemimpin mereka.

Kedua, soal pendidikan. Sunak merupakan sosok yang menempuh pendidikan di tempat utama di Inggris dan Amerika. Dia berhasil lulus kuliah di Oxford, Inggris dan Stanford, Amerika.

Ketiga, soal profesionalisme. Sunak merupakan Bankers dari Goldman Sach, salah satu perusahaan keuangan terkemuka di dunia.

Keempat, Sunak merupakan India-Inggris, yakni orang yang lahir dan dibesarkan di Inggris. Bukan imigran seperti kakeknya.

Kelima dia unggul sebagai kandidat di partai yang memerintah, yakni partai Konservatif. Khususnya untuk menggantikan Liz Truss sebagai pemimpin partai, sekaligus Perdana Menteri.

Bagaimana dengan Anies?

Soal warna kulit, Sri Bintang Pamungkas (SBP) telah menyerang Anies Baswedan dalam artikelnya 3 hari lalu, yang menyebar di berbagai group WA. Arab seperti Anies Baswedan, seperti juga orang-orang China menurut SBP tidak punya hak dan moralitas politik untuk menjadi pemimpin di Indonesia. Mereka adalah manusia yang seharusnya berterimakasih kasih sudah dapat makan dan minum di negeri ini.

Pikiran seperti SBP ini memang telah berkembang sepuluh tahun lalu, ketika SBP, yang terang-terangan, dan berbagai pihak lainnya yang samar, menolak Jokowi jadi pemimpin, karena dia dianggap tidak Indonesia asli. Indonesia asli memang tercantum dalam UUD 45 asli sebagai calon presiden.

Namun, setelah UUD itu diamandemen, tahun 1999-2002, pernyataan Indonesia asli itu diubah menjadi hanya Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya. Artinya, secara legal itu tidak menjadi persoalan. Yang digugat SBP adalah soal kepantasan dan moralitas.

Untuk di Inggris kejadian Sunak dapat diperkirakan sebagai berikut. Pertama, memang ada “diversity” dalam masyarakat mereka saat ini, atau kedua, mereka terpaksa membutuhkan orang yang tepat dan mampu menyelamatkan perekonomian mereka dari krisis.

Atau ketiga, rakyat Inggris telah hancur lebur karena krisis begitu besar, sehingga mereka tidak mampu lagi mengontrol sirkulasi elite politik. Perkiraan ini sebenarnya merupakan analisa dari berbagai analis dalam media-media internasional. Semuanya tentu perlu didalami.

Dalam asumsi kebhinekaan (diversity) seharusnya Indonesia lebih baik dari bangsa kulit putih. Sejarah 250 tahun bangsa kulit putih menjajah dunia, diskriminasi dan kebencian rasial selalu menjadi senjata utama mereka untuk membantai manusia lainnya. Alasan Sri Bintang memojokkan Anies Baswedan secara rasialis tentunya justru kurang bermoral.

Memang benar bahwa boleh jadi kita akan memberikan tongkat komando menyelamatkan negara ini pada bangsa pribumi, atau akan lebih bermoral, dengan catatan memang ada pemimpin bangsa kita yang bebas korupsi. Namun, kita harus membuka peluang Anies untuk bisa muncul sebagai pilihan yang terbaik. Jangan dibunuh karakternya sebelum bertanding. Sehingga ini memperluas pilihan yang ada.

Namun, dibanding dengan Sunak, orang biasa, Anies Baswedan memiliki warisan kejuangan dari kakeknya sebagai pendiri Negara Indonesia 77 tahun lalu. Warisan sejarah ini adalah warisan patriotisme yang mampu menjamin kecintaan Anies pada Indonesia.

Moralitas yang seharusnya ditantang oleh oposite Anies adalah kemampuan Anies untuk membangun kembali negeri kita. Sebab, pertanyaan semua negara yang dihancurkan pandemi Covid-19, perang dingin dunia barat versus Rusia/China dan badai krisis ekonomi dunia saat ini, adalah bisakah bangsa itu bangkit, bukannya bangkrut? Apakah Anies akan membawa keselamatan atau kehancuran?

Untuk menjawab ini sangat terhubung dengan kapasitas dan jejak langkah Anies itu sendiri. Dalam ukuran kapasitas, ditambah jejak pendidikan, Anies tentu jauh di atas semua kandidat yang ada. Skala pengelolaan negara, baik sebagai Menteri Diknas maupun Gubernur DKI, Anies telah melewati kerja dengan kompleksitas dan skala yang tinggi.

Gubernur Jateng, seperti Ganjar, misalnya, merupakan jabatan yang terdesentralisasi kekuasaannya, terbagi dengan wali kota dan bupati di sana, tidak sebesar Anies.

Kapasitas dan pendidikan Anies setara dengan Sunak di Inggris itu. Meskipun, negara mereka jauh lebih besar.

Perbedaan Anies dan Sunak terletak pada ideologinya. Sunak mewakili simbol kapitalis, di mana mazhab berpikir dia mempunyai rujukan pada Adam Smith dan Margareth Thatcher, yakni Mini Government, Pajak Rendah dan Pertumbuhan Tinggi.

Sementara Anies akan lebih sosialistik alias Pancasilais, yakni membangun negara dan rakyat sekaligus, sebagaimana selama Gubernur dia membuat jargon “Maju Kotanya, Bahagia Warganya”. Idiologi Anies bertumpu pada pembangunan manusia, keadilan bersama dan demokrasi. Untuk kemenangan Sunak tersebut, kaum buruh dan sosialis di Inggris tidak menyambut gembira.

Nadia Whittome, tokoh buruh Inggris keturunan India mengingatkan kaum buruh bahwa Sunak adalah pilihan buruk buat rakyat kecil. Menurutnya dalam Al Jazeera, (24/10), “Rishi Sunak as Prime Minister isn’t a win for Asian representation,” ..“He’s a multi-millionaire who, as chancellor, cut taxes on bank profits while overseeing the biggest drop in living standards since 1956. Black, white or Asian: if you work for a living, he is not on your side.”

Dikaitkan dengan ideologis, pemikiran Sri Bintang yang mengutamakan “presence” bukan “essence”, perlu kita singkirkan untuk sementara waktu. Sebab, Bangsa Indonesia saat ini benar-benar membutuhkan pemimpin yang dengan segenap jiwanya ingin menyelamatkan bangsa.

Jadi, Sunak dan Anies mempunyai kesamaan dalam kebutuhan suatu bangsa ketika dilanda krisis. Mereka hadir ketika krisis besar datang. Keduanya mempunyai kapasitas dan sekolah yang baik.

Keduanya lahir dan besar didalam negerinya. Bedanya Sunak besar dalam lingkungan Partai Konservatif yang pro kapitalis, sedangkan Anies Baswedan tumbuh dalam “kawah candradimuka” Pancasila yang sosialistik.

Perdana Menteri Inggris yang berdarah India dan Anies Baswedan berdarah Arab mempunyai kemampuan, kapasitas dan pendidikan yang sama mumpuni untuk membangun negaranya. Semua bangsa di dunia benar-benar mengharapkan pemimpin yang mampu membangun kembali sebuah negara setelah pandemi Covid-19, perang dingin Barat vs Rusia/China dan badai krisis ekonomi saat ini.

Kerelaan bangsa kulit putih Inggris yang biasanya rasis, menunjuk Sunak, bisa jadi benar-benar menunjukkan adanya diversity atau kebhinekaan pada masyarakat Inggris saat ini, setidaknya dalam membawa mereka keluar dari krisis.

Apakah Indonesia lebih rasis dari Inggris? Apakah moralitas kita terganggu jika warna kulit Anies berbeda dengan kita, seperti yang dituduhkan antara lain oleh Sri Bintang Pamungkas?

Kita perlu menghindari pembunuhan karakter pada calon pemimpin yang mungkin bangsa ini sedang membutuhkan. Dengan bolehnya setiap WNI bertarung untuk Capres, sesuai UUD45 Amandemen, setidaknya pertanyaan moralitas calon presiden ke depan adalah terkait dengan patriotisme dan kecintaan mereka pada negara, bangsa dan rakyat.

Kita membutuhkan esensi, bukan eksistensi saja. (*)

  • Tulisan ini dikutip dari RMOL
BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER