Kamis, Juli 10, 2025
spot_img
BerandaEditorialRipin Mati, Hukum Diam. Ada Apa dengan Deliserdang?

Ripin Mati, Hukum Diam. Ada Apa dengan Deliserdang?

Bukankah para saksi kunci bersama korban dari awal hingga ajal? Bahkan saksi pertama yang melaporkan korban tewas?

Di Inggris, hanya dengan secuil puntung rokok, kasus pembunuhan yang nyaris terlupakan selama 30 tahun akhirnya berhasil dibongkar. Tak ada saksi hidup. Tak ada pengakuan. Hanya sepotong DNA pada puntung Marlboro, yang membawa penyidik Scotland Yard pada identitas pelaku—seorang residivis yang kala itu sedang bebas bersyarat.

Kisah nyata ini diabadikan dalam film dokumenter BBC: Murder Case: The Hunt for Mary McLaughlin’s Killer.

Yang bekerja di sana bukan dukun. Mereka bukan cenayang. Tapi penyidik yang bekerja dengan akal, nurani, dan teknologi.

Lalu, apa kabar penyidik kita di Polres Deliserdang? Sudah lebih dari 70 hari, kematian tragis Ripin alias Achien, pemuda 23 tahun, masih menggantung. Bukannya kekurangan bukti, kasus ini justru tergenang dalam tumpukan fakta-fakta: mobil yang digunakan, lokasi kejadian yang spesifik, sandal korban, bahkan saksi-saksi yang mengiringi Ripin dari rumah hingga ia mengembuskan napas terakhir di kebun sawit. Ditambah lagi hasil autopsi mayat Ripin.

Tapi semua itu seolah angin lalu. Penyidikan stagnan. Saksi kunci—yang tak lain adalah bibi korban sendiri—masih bebas tanpa status hukum yang jelas.

Bahkan, menurut pengacara keluarga, Mardi Sijabat, para saksi kunci ini berpotensi dapat melarikan diri atau menghilangkan barang bukti. Ironisnya, kartu SIM milik terduga sudah dikembalikan. Kendaraan yang dipakai untuk menjemput korban? Tak juga disita.

Lalu, kita bertanya: seberapa besar kekuatan yang melindungi para terduga ini?

Padahal, pra-rekonstruksi telah dilakukan. Bahkan disebar di tiga wilayah hukum: Serdang Bedagai, Deliserdang, dan Medan. Ripin dijemput dari Perbaungan, dibawa ke Pantai Labu, lalu ke Medan, dan akhirnya dilaporkan saksi kunci, “Ripin tewas ditabrak mobil” di Emplasmen sawit. Semua berjalan dalam alur logika yang runtut, dan terlampau janggal.

Cerita “halu” versi saksi kunci itu kemudian dimentahkan penyidik Polisi Lalu Lintas karena tidak ditemukan bukti Ripin tewas akibat kecelakaan. Kasus pun bergeser dan bergulir ke ranah hukum pidana: dugaan pembunuhan berencana.

Namun polisi tetap “membisu”. Seakan ada tangan-tangan tak kasat mata yang membonsai nyali penegakan hukum.

Mardi Sijabat telah mengirim laporan ke 12 institusi. Dari Kapolri hingga Komisi III DPR RI. Tapi yang terjadi, sama: penyidik tetap diam. Seolah kematian Ripin hanya layak dipendam, bukan diselidiki.

Bukankah para saksi kunci bersama korban dari awal hingga ajal? Bahkan saksi pertama yang melaporkan korban tewas? Bukankah motif finansial dari polis asuransi juga sudah terendus? Bukankah ini lebih dari cukup untuk meningkatkan status hukum mereka?

Atau, apakah hukum kita memang tak bernyali bila harus menabrak tembok berlapis kuasa?

Hukum mestinya menjadi mata air bagi keadilan. Tapi dalam kasus Ripin, yang kita saksikan justru air yang diaduk-aduk menjadi lumpur—keruh, lambat, dan penuh bau amis kepentingan.

Keadilan tak boleh menjadi proyek sepi yang hanya diperjuangkan oleh keluarga korban dan satu-dua pengacara yang bersuara. Negara tidak boleh absen dalam tragedi seperti ini. Jika polisi daerah lumpuh, maka Polda harus turun. Jika Polda bungkam, Mabes Polri harus bersuara.

Karena bila kasus Ripin dibiarkan berlalu begitu saja, maka satu nyawa lagi telah dikorbankan—bukan hanya oleh pelaku, tapi juga oleh sistem hukum yang memilih untuk tidak bekerja.

Maka tanyakanlah pada hati ini: Berapa lagi Ripin harus mati demi mencelikkan mata hukum yang buta?

Jika satu puntung rokok bisa membongkar kejahatan 30 tahun silam di Inggris, maka apakah Indonesia butuh kobaran api terlebih dahulu untuk bisa melihat siapa pembunuh di balik wajah keluarga Ripin? (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER