“Saya tidak tahu pasti di mana Arif, tapi hati saya yakin dia ada di sini”
Pagi itu, sekitar pukul 08.30 WIB, Dahri (62) duduk di atas bebatuan. Tangan keriputnya memegang sebuah buku Yasin yang sudah lusuh. Ia membacanya, sayup-sayup terdengar menembus telinga dengan lembut.
Di hadapannya, tidak ada nisan yang kokoh berdiri, hanya sebuah papan kecil bertuliskan: “Kuburan Anak-Anak”.
Lokasi ini adalah kuburan massal Ulee Lheue, di Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Di tempat ini, 14.264 korban syahid tsunami dimakamkan.
Tidak ada nama, tidak ada tanda khusus. Semua korban disemayamkan bersama setelah gelombang dahsyat tsunami yang dipicu gempa berkekuatan 9,2 SR menghancurkan Banda Aceh pada 26 Desember 2004.
Di sinilah Dahri, setiap tahun pada tanggal yang sama, melabuhkan rindunya kepada Arif (6), anak sulungnya yang hilang saat bencana dahsyat itu melanda.
“Saya tidak tahu pasti di mana Arif, tapi hati saya yakin dia ada di sini,” ujarnya lirih.
Dahri adalah salah satu penyintas tsunami yang selamat dari tragedi itu. Namun, hidupnya berubah selamanya setelah gelombang besar tersebut memisahkannya dari anaknya.
Pagi itu, 26 Desember 2004, Dahri dan keluarganya sedang bersiap-siap pergi ke pasar. Tidak ada firasat buruk saat bumi mendadak berguncang keras. Ia menggendong anak bungsunya, sementara istrinya memegang tangan Arif, anak sulung mereka.
“Setelah gempa, kami mendengar suara gemuruh dari laut. Tiba-tiba saja, air datang seperti tembok besar,” kenangnya, suaranya bergetar.
Dalam hitungan detik, air bah menerjang tanpa ampun. Dahri terpisah dari istrinya dan Arif. Ia hanya mampu berpegangan erat pada anak bungsunya saat arus yang kuat menyeret mereka.
Beberapa hari kemudian, jasad istrinya ditemukan di lokasi berbeda. Namun, Arif tidak pernah ditemukan. Sejak itu, kuburan massal Ulee Lheue menjadi tempat bagi Dahri untuk melampiaskan rindu pada anak sulungnya itu.
Di antara gundukan tanah dan papan-papan penanda, bagi Dahri rindu dan kenangan bersama Arif terus hidup.
“Rindu itu tidak pernah hilang. Tapi dengan datang ke sini, rasanya lebih ringan,” katanya sambil menutup buku Yasin yang ia bawa.
Di kuburan massal itu, Dahri bertemu dengan banyak keluarga lain yang juga kehilangan. Mereka saling berbagi cerita, mengingat kembali orang-orang tercinta yang pergi terlalu cepat. “Kami semua punya luka yang sama. Hanya doa yang bisa kami berikan,” ucapnya. (*)