Banda Aceh (Waspada Aceh) – Rempah Aceh tidak hanya sebagai bumbu masakan atau obat-obatan, tetapi juga sebagai modal utama di segala aspek kehidupan masyarakat Aceh, baik militer, maritim, peradaban, kesultanan, diplomasi, politik, maupun sosial.
Hal ini diungkapkan oleh Kolektor Manuskrip Kuno Aceh Tarmizi A Hamid kepada jurnalis yang mengunjungi Rumoh Manuskrip Aceh saat pameran Rempah dalam Manuskrip di Desa Ie Masen Kaye Adang Banda Aceh, Minggu (5/11/2023).
Selama momentum PKA ke-8 ini, dipamerkan ragam rempah Aceh dan juga manuskrip-manuskrip yang menjelaskan tentang rempah Aceh.
Tarmizi mengatakan sejak abad 16, rempah Aceh dinilai sangat berkualitas dan diminati oleh banyak negara di dunia, sehingga menjadi salah satu komoditas perdagangan yang menguntungkan dan strategis.
“Kedekatan kita dengan Turki juga karena rempah. Diplomasi dengan Portugis karena rempah. Rempah Aceh sangat terbaik di dunia, kalau tidak mereka tidak bermukim di Aceh,” kata Tarmizi yang akrab disapa Cek Midi.
Cek Midi menambahkan bahwa rempah Aceh juga berperan dalam membangun peradaban Aceh yang maju dan berpengaruh. Ia menyebutkan bahwa Aceh memiliki bandar negosiasi di Pulau Pinang, Malaysia, yang menjadi tempat transaksi harga dan jalur sutra rempah Aceh.
Tarmizi mengistilahkan rempah Aceh sebagai emas hitam yang kemakmuran rakyat Aceh. Ia juga menyebutkan dahulu rempah juga sebagai alat barter. “Dahulu Aceh menjadikan rempah sebagai alat tukar, misalnya zaman dulu ditukar dengan kertas, untuk menulis manuskrip,” jelasnya.
Ia berharap bahwa rempah Aceh bisa dimanfaatkan sebagai produk ekonomi yang handal, terutama dalam bidang herbal dan UMKM.
“Sekarang hangatnya diekspor ue neulhe ke Malaysia. Baru ue neulhe. Semoga ke depan rempah lainnya kembali menjadi potensi dan kekuatan penambahan ekonomi bagi rakyat Aceh,” kata Cek Midi.
Tarmizi juga mengatakan bahwa dalam manuskrip Aceh banyak tersebut manfaat rempah bagi orang Aceh, tidak hanya untuk masakan, tetapi juga untuk obat-obatan.
“Orang Aceh jaman dulu jarang sakit, tercantum dalam manuskrip seperti Tajul Muluk. Kemudian kitab lain Mujarabat. Ditulis ulama-ulama zaman dulu tentang rempah jadi ramuan untuk obat-obatan,” jelas Tarmizi.
Tarmizi menyebutkan beberapa rempah Aceh yang menjadi kekuatan Aceh, yaitu lada hitam, lada putih, kayu manis, kemeyan, sarang burung wallet.
“Andalan paling utama itu adalah lada, makanya orang Aceh dahulunya disebut bangsa lada,” ucap Tarmizi.
Tarmizi mengajak masyarakat Aceh untuk menghidupkan kembali kebudayaan dagang rempah Aceh yang sudah tergerus oleh berbagai faktor, seperti kolonialisme, konflik, dan tsunami.
“Ketika ilmu kita sudah hebat, teknologi sudah hebat, Kini bagi Aceh sendiri diplomasi luar negeri saja tidak ada. Padahal dahulunya sudah ada diplomasi politik dagang yang luar biasa”.
“Ini harus kita evaluasi, momentum PKA kita bisa melihat apa kekurangan dari kita ini sebagai tuan rumah terbesar rempah dunia,” pungkas Cek Midi. (*)