Banda Aceh (Waspada Aceh) – Melakukan unjuk rasa ke sebuah kantor media atas satu pemberitaan yang merupakan karya jurnalistik, adalah bentuk intimidasi dan ‘bar-bar’ yang mengarah kepada tindakan kriminalisasi. Ada konsekuensi hukumnya karena sudah menghalang-halangi tugas pers.
“Kita mengutuk tindakan itu. Kemerdekaan pers itu adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum,” kata Mohsa Ramadan, Wakil Ketua PWI Aceh Bidang Antar Lembaga, yang juga Penguji Kompetensi Wartawan PWI, kepada Waspadaaceh.com di Banda Aceh, Kamis (20/9/2018).
Menurut Ramadan, pada pasal 2 UU No 40 tahun 1999, jika ada kekeliruan dalam pemberitaan, ada dua hak yang diberikan dan dijamin oleh UU. Yaitu Hak Jawab (milik nara sumber) dan Hak Koreksi (milik masyarakat penbaca), lanjutnya menanggapi adanya aksi demo sekelompok masa yang tidak suka atas pemberitaan Harian Waspada Medan, terkait kunjungan Sandiaga Uno, Calon Wakil Presiden, ke kantor surat kabar tertua di Sumatra itu, beberapa hari lalu.
“Jika ada masyarakat yang kurang puas terhadap satu pemberitaan, dia bisa menggunakan hak koreksi dengan mengirimkan penjelasan atau koreksi ke redaksi media dimaksud. Dan media tersebut wajib memuatnya,” tambah Ramadan.
Ramadan bahkan menyebutkan, segala bentuk intimidasi terhadap sebuah media bisa dikategorikan sebagai tindakan persekusi kepada pers.
PWI Sumut: Dikatagorikan sebagai Intimidasi
Sementara itu, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumatera Utara menyayangkan ketidakpuasan terhadap pers yang dilakukan dengan cara mendemo kantor media bersangkutan. Justru menurut Hermansjah, aksi demo tersebut dapat dikategorikan suatu intimidasi atau upaya menghalangi-halangi tugas wartawan. Hal ini pun sah jika dipidanakan.
Ketua PWI Sumut, Hermansjah, menjelaskan masyarakat yang merasa tidak puas terhadap pemberitaan di sebuah media bisa menyalurkannya sesuai Undang Undang 40/1999 tentang Pers.
Ia menjelaskan ada dua cara yang dapat dilakukan masyarakat untuk mengajukan keberatan terhadap suatu pemberitaan. Pertama, menyampaikan hak jawab, kedua menyampaikan hak koreksi.
Hak koreksi ini disampaikan kepada media. Jika koreksi itu dinilai benar, maka media bersangkutan wajib menerbitkannya. “Untuk itu yang bersangkutan dapat melalui hak jawab atau hak koreksi untuk meluruskan pemberitaan. Media juga wajib menerbitkan Hak jawab dan koreksi tersebut. Jadi tidak ada konteks atau dasarnya ketidakpuasan terhadap suatu pemberitaan dilakukan dengan cara mendemo surat kabar tersebut,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (18/9/2018).
“Dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, tindakan semacam itu dapat dikenakan pidana penjara,” tegasnya.
“Untuk itu kami (PWI Sumut, red) berharap semua pihak memahami terhadap tugas-tugas jurnalistik dan hendaknya kejadian serupa tidak terulang lagi dikemudian hari,” harap Hermansjah.
Wakil Pemimpin Redaksi (Wapemred) WASPADA, H Sofyan Harahap, kepada wartawan sebelumnya membenarkan adanya demo sejumlah massa yang keberatan dengan pemberitaan Cawapres, Sandiaga Salahuddin Uno, terkait kunjungan Sandiaga ke kantor Harian Waspada Medan.
“Kami jawab dan jelaskan bahwa tidak ada yang salah dengan pemberitaan yang dimuat di halaman depan sebagai headline,” ungkap Sofyan Harahap.
Murizal Hamzah: Ini Betuk Teror dan Intimidasi
Sedangkan Murizal Hamzah, salah seorang aktifis pers di Aceh, menyebutkan, aksi demo segelintir masyarakat ke kantor redaksi Harian Waspada di Medan terkait publikasi kedatangan bakal calon Wakil Presiden, Sandiaga Uno, merupakan bentuk intimidasi dan teror.
“Saya menyebut itu bagian dari semacam intimidasi atau teror. Semestinya demo tersebut tidak perlu dilakukan jika yang memobilisasi warga untuk berdemo paham tentang kerja media atau wartawan,” kata Murizal Hamzah kepada Waspadaaceh.com, Kamis (20/9/2018).
Kata penulis buku Deklarasi Aceh Merdeka Hasan Tiro ini, jika adanya keberatan terhadap pemberitaan di Harian Waspada, bisa melalui mekanisme hak jawab dari masyarakat.
“Kerja media dilindungi oleh undang-undang sehingga tidak bisa menggunakan aksi berdemo untuk menakut-nakuti media. Semua bisa diselesaikan atau direspon dengan otak, artinya menggunakan hak jawab,” lanjut Murizal.
Murizal Hamzah berharap, tekanan-tekanan terhadap media melalui demo, ke depannya tidak terjadi lagi. (ria)