Banda Aceh (Waspada Aceh) – Kebijakan Bank Aceh menempatkan dana Rp8,08 triliun di luar Provinsi Aceh dinilai ironis dan merugikan perekonomian daerah.
Di tengah kebutuhan pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dana sebesar itu justru berputar di luar Aceh, bukan untuk menggerakkan roda ekonomi rakyat di Tanah Rencong sendiri.
Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Abd. Jamal, mengatakan, langkah Bank Aceh itu berlawanan dengan semangat Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Qanun jelas memerintahkan minimal 40 persen pembiayaan bank syariah diarahkan ke UMKM.
“Ini ironis. Rakyat membutuhkan pembiayaan, tapi dana ditempatkan di luar daerah. Padahal, kalau dana itu diputar di Aceh, pertumbuhan ekonomi kita akan lebih tinggi dan lapangan kerja lebih banyak tercipta,” kata Jamal, kepada Waspadaaceh.com, Selasa (23/9/2025) di Banda Aceh.
Ia memaparkan, jika disimulasikan dengan metode Incremental Capital Output Ratio (ICOR), data BPS menunjukkan ICOR Aceh pada triwulan I 2025 sebesar 4,45. Artinya, jika dana Rp8,08 triliun ditempatkan untuk investasi, output akan bertambah sekitar Rp1,816 triliun.
Dengan PDRB ADHB Aceh Rp243,2 triliun, kontribusi tambahan itu setara 0,75 persen. Maka, pertumbuhan ekonomi triwulan II 2025 yang tercatat 4,82 persen bisa meningkat menjadi 5,57 persen.
“Dengan pertumbuhan yang sebesar itu tentu akan membuka lapangan kerja yang lebih besar. Kita tidak memiliki data elastisitas kesempatan kerja, harusnya kita juga dapat menghitung berapa lapangan kerja yang akan terbuka,” jelasnya.
Risiko dan kepercayaan
Ia juga menanggapi terkait sebagian penyaluran dana di luar Aceh disebut bermasalah atau macet.
Ia menyayangkan jika hal itu benar terjadi. Likuiditas bank memiliki ketentuan yang harus dipatuhi, termasuk memperhatikan NPL dan CAR. Jika diabaikan, risiko besar dapat mengancam keberlangsungan bank dan menurunkan kepercayaan masyarakat.
Sebagai bank syariah, Bank Aceh semestinya menghindari spekulasi merugikan dan memprioritaskan penguatan ekonomi umat, khususnya di Aceh. Karena itu, perhitungan ulang pembiayaan berisiko serta pengawasan yang lebih ketat menjadi sangat penting.
UMKM masih terabaikan
Jamal juga menyoroti implementasi Qanun LKS yang mewajibkan bank syariah menyalurkan sedikitnya 40 persen pembiayaan untuk UMKM. Kewajiban ini, menurutnya, kerap berhenti di atas kertas.
“Mungkin sebagian sudah dijalankan, tapi jangan-jangan hanya usaha kecil dan menengah yang tersentuh. Usaha mikro bisa jadi terabaikan, padahal mereka penampung tenaga kerja terbesar. Kalau ini diabaikan, maka tujuan memberdayakan ekonomi rakyat belum tercapai,” ucapnya.
Ia menegaskan, esensi ekonomi syariah adalah kesejahteraan rakyat, bukan sekadar keuntungan.
Prof Abd Jamal juga mengingatkan agar Bank Aceh tidak terjebak menjadi “sapi perah” pemegang saham. Sebagai bank daerah, ia harus profesional, transparan, dan konsisten dengan misi membangun Aceh melalui penguatan sektor riil.
“Pembiayaan untuk sektor mikro harus menjadi perhatian khusus dengan pembiayaan yang rendah dan proses yang sederhana, sehingga tidak kalah saing dengan usaha menengah. Bank Aceh juga wajib menunjukkan transparansi dalam kebijakan pembiayaan,” ujarnya.
Sebagai lembaga keuangan yang berorientasi profit, tentu jangan hanya melihat kepada profit. Pembangunan ekonomi secara umum juga harus menjadi prioritas perhatiannya,” kata Jamal.
Ia menegaskan, Bank Aceh memiliki tanggung jawab lebih dari sekadar entitas bisnis. “Artinya, Bank Aceh harus menjadi leader dalam pembangunan ekonomi Aceh, khususnya ekonomi berbasis rakyat lapisan bawah,” tuturnya. (*)