Pilkada sejatinya menjadi pesta demokrasi bagi rakyat Aceh, yang bebas dari intimidasi dan teror.
Rakyat di Provinsi Aceh akan memberikan hak suaranya pada Pilkada (pemilihan kepala daerah) 27 Nopember 2024. Hanya tinggal beberapa hari lagi.
Sebagai bagian dari Pilkada serentak di seluruh Indonesia, rakyat Aceh akan memilih pemimpinnya, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Di tingkat kabupaten/kota, mereka akan memilih bupati/wakil bupati atau wali kota/wakil wali kota. Sedangkan di tingkat provinsi, rakyat akan memilih pasangan gubernur/wakil gubernur.
Dalam tulisan ini redaksi hanya ingin memotrel suhu politik dalam pemilihan gubernur (Pilgub) Aceh, yang semula biasa-biasa saja, tapi makin ke depan suhunya terlihat semakin “meninggi.” Di Pilgub Aceh ini diikuti dua paslon, Bustami Hamzah – Fadhil Rahmi dan paslon Muzakir Manaf – Fadhlullah.
Terkait Pilgub Aceh, belakangan ini terdengar ada teror dari pendukung satu paslon kepada pendukung paslon lainnya.
Melihat situasi terkini, termasuk insiden kericuhan yang terjadi pada debat terakhir paslon gubernur Aceh yang diselenggarakan KIP di The Pade Hotel, Aceh Besar, Selasa malam (19/11/2024), maka peristiwa ini tak boleh dipandang sebelah mata.
Peristiwa teror peledakan granat di sekitar rumah calon gubernur Bustami Hamzah, ancaman pembunuhan tim pemenangan Bustami di Aceh Tamiang dan perusakan baliho calon di beberapa daerah di Aceh, menjadi sinyal bagi kita bahwa situasi keamanan di provinsi paling ujung di Sumatera ini “tidak sedang baik-baik saja”.
Pilkada sejatinya menjadi pesta demokrasi bagi rakyat Aceh, yang bebas dari intimidasi dan teror. Namun melihat situasi akhir-akhir ini, justru yang terjadi sebaliknya. Suhu politik semakin memanas mendekati hari H pelaksanaan Pilgub Aceh..
Apakah aparat keamanan tenang-tenang saja? Tentu tidak boleh. Sebab bila hal ini terus dibiarkan, maka pada saatnya nanti, pesta rakyat ini bisa semakin memanas dan berubah menjadi kacau. Apalagi ada pernyataan dari salah seorang pendukung, “kali ini harus menang, walau harus berdarah-darah.”
Sebagian rakyat di Aceh mulai cemas, mendengar adanya intimidasi dan teror. Ada ketakutan atas munculnya “isu konflik” yang dimanfaatkan oleh pendukung salah satu paslon. Isu itu didengungkan sebagai upaya “menekan” rakyat.
Isu itu disebarkan dengan bunyi kira-kira; “Bila paslon A gagal jadi gubernur maka akan terjadi lagi konflik di Aceh”. Tentu isu ini menimbulkan ketakutan kepada masyarakat, apalagi dengan munculnya teror. Sebab rakyat Aceh telah cukup mengalami trauma atas konflik bersenjata berkepanjangan yang pernah mendera mereka di masa lalu.
Sinyal-sinyal yang mengemuka itu, “bagai api dalam sekam.” Terlihat di permukaan biasa-biasa saja, sesungguhnya di bawah sudah menjadi bara api. Sebenarnya saat ini asapnya sudah mulai tampak, sehingga harus menjadi perhatian ekstra aparat negara (Polri/TNI) untuk “memadamkan”.
Aparat harus menjamin rakyat Aceh dapat memberikan hak suaranya secara aman, bebas dan rahasia.
Begitu juga, sudah seharusnya kedua kubu justru mampu meyakinkan rakyat Aceh untuk memberikan hak suara secara aman dan damai. Membebaskan rakyat memilih calon pemimpinnya tanpa tekanan, intimidasi dan teror. Sehingga dengan proses Pilgub yang jujur dan adil, maka akan terpilih pemimpin yang benar-benar diinginkan oleh rakyat Aceh. Semoga. (*)