“Lanskap dataran tinggi Gayo terbentang luas dari ketinggian 2.624 mdpl, sementara bayangan piramida Burni Telong terlihat jelas diterpa sinar mentari pagi”
Base camp Burni Telong Desa Rembune, Senin, 31 Desember 2024, pukul 11.00 WIB.
Langit Bener Meriah, Aceh tampak cerah, meski angin tipis membawa aroma hujan. Di depan tulisan grafiti besar “Burni Telong”, kami, sepuluh orang, berdiri melingkar.
Lasak Arkana Surengrana dengan cekatan mengepak carrier berisi perlengkapan pendakian. Sebagai pemandu, ia menjelaskan cara mengepak carrier agar beban terasa ringan di punggung, serta memberi tips menghadapi jalur terjal.
Setelah persiapan selesai, kami berdoa bersama, menguatkan tekad untuk menaklukkan gunung berapi setinggi 2.624 meter di atas permukaan laut.
Burni Telong, yang berarti “Gunung Terbakar,” adalah gunung berapi aktif yang pernah meletus pada 7 Desember 1924. Di kaki gunung, perkebunan kopi Gayo membentang seperti permadani hijau.
Aroma bunga kopi yang mekar di bulan Desember bercampur dengan bau tanah basah. Kopi adalah harta karun bagi masyarakat Gayo, simbol kehidupan yang dirawat dengan cinta.
“Dan ingat, jaga tata krama selama pendakian. mendaki gunung bukan hanya tentang mencapai puncak, tapi juga menjaga diri dan lingkungan,” kata Lasak.
Pemandu ini memastikan semua perlengkapan kami aman. Lasak Arkana bukan hanya seorang pemandu trip, tetapi juga seorang pecinta alam yang peduli terhadap lingkungan. Ia adalah Leader World Cleanup Day Banda Aceh dan aktif di komunitas Kami Sahabat Leuser.
Trip ke Burni Telong ini adalah pendakian ke-27 yang dipimpinnya. Bersama kami, tim jurnalis dari Aceh, Wahyu Majiah, Fazliana, Mardili, Yulham, dan saya bergabung dengan teman baru yang kami temui di basecamp Irma, Zahra, Adib, dan Helmi. Lasak menamai trip ini “Jak Lom”.
Pendakian dimulai dengan melewati perkebunan kopi dengan jalan setapak menanjak. Beberapa kebun kopi yang kami lewati bahkan masih memekarkan bunga, meski ada pula yang sudah mulai membulirkan buah hijau dan merah.
Namun, mendung menggelayut di langit. Baru sampai di pintu rimba, hujan turun. Kami bergegas mengenakan mantel. “Ini baru pendakian, belum apa-apa,” ujar Lasak.
Memasuki hutan lindung, aroma tanah basah dan gemerisik dedaunan menjadi pengiring perjalanan kami menuju Shelter 1. Suasana sunyi yang diselingi kicauan burung menciptakan ketenangan sekaligus kekaguman pada keindahan alam yang masih asri.
Mardili dengan sigap mendokumentasikan setiap langkah perjalanan, memotret beragam flora dan fauna yang ditemui di sepanjang jalur pendakian. Kami berhenti sejenak, menikmati pemandangan yang diselimuti kabut tipis, sambil mengatur napas.
Yulham juga ikut mendokumentasikan momen-momen seru. Adib, perantau asal Sumatera Barat, sibuk membuat vlog, sementara Zahra dan Irma, kakak beradik asal Gayo, terus mengabadikan momen pendakian.
Penulis, Ayu, dan Yana bersemangat membuat konten, sementara Helmi dan Lasak, yang tampak santai, melihat tingkah kami dengan senyuman. Di antara gelak tawa dan percakapan ringan, Ayu tak henti-hentinya memecah suasana dengan obrolan sepanjang perjalanan.
Di Shelter 1, kami bertemu banyak pendaki lain yang beristirahat sambil menikmati bekal. Di sini terdapat mata air, tempat para pendaki mengisi botol sebelum melanjutkan perjalanan. “Sumber mata air hanya ada di sini. Jadi, di atas sudah tidak ada mata air lagi. Kalau mau ambil air, harus turun ke sini,” kata Lasak.
Di Shelter 2, perjalanan semakin sulit. Akar-akar pohon menjadi tumpuan kami melewati jalur yang licin. Hujan terus menemani, membuat tubuh semakin dingin. Berhenti terlalu lama justru membuat rasa dingin menyergap, sehingga kami memutuskan untuk terus bergerak.
“Jangan duduk terlalu lama, nanti malah makin dingin,” kata Lasak. Kami segera bergerak lagi, langkah demi langkah, melawan dingin dan lelah.
Di tengah perjalanan, pertanyaan yang sama kerap terucap, “Masih jauh, nggak? Berapa lama lagi sampai Shelter 3?” Langkah yang terasa berat membuat kami tak sabar untuk segera tiba.
Namun, semangat itu kembali muncul setiap kali bertemu pendaki yang turun. “Semangat, kak, sedikit lagi sampai!” ujar mereka sambil tersenyum, menyuntikkan energi baru yang membuat kami terus melangkah meski tubuh mulai menuntut istirahat.
Hujan mulai mereda saat kami tiba di Shelter 3, perhentian terakhir sebelum puncak, tepat pukul 16.23 WIB. Di atas tanah datar yang dipenuhi tenda-tenda, kami segera mencari tempat untuk mendirikan tenda dan mengganti pakaian yang basah.
Lasak dan Helmi bergegas menyiapkan makan malam, sementara itu, tim lain sibuk membuat air jahe untuk mengusir dingin yang mulai menggigit. Namun, tak lama kemudian hujan kembali mengguyur.
Langit menghitam, suhu semakin dingin. Kami buru-buru mengenakan jaket tebal, kupluk, dan menghidupkan headlamp. Duduk melingkar di luar tenda dan menikmati makan malam bersama. “Mewah sekali makan malam ini di gunung bisa makan ayam goreng dan soto,” ujar Yana, terkagum.
Ketika kami hendak bersiap tidur, suasana mendadak berubah mencekam. Tiba-tiba, terdengar teriakan dari tenda lain, “Ada yang kesurupan!” Seketika, kami terdiam, hanya suara hujan yang samar terdengar di kejauhan. Lasak segera memastikan keadaan. “Tenang, semuanya baik-baik saja,” ujarnya berusaha menenangkan kami.
Namun, malam itu tidur terasa nyaris mustahil, meskipun suara gemericik hujan dan bisikan angin cukup membuat bulu kuduk kami berdiri. “Kalian jangan kemana-mana, ya. Kalian bergosip saja di luar,” ujar Ayu, meminta Lasak, Mardili, dan teman-teman lainnya untuk berjaga, agar pikiran kami bisa sedikit teralihkan.
Akhirnya, kami memutuskan keluar tenda, duduk melingkar, dan mulai berbincang santai berusaha mengusir rasa takut. “Apa alasan kalian mendaki?” tanya salah satu dari kami. Jawaban pun beragam, ada yang karena patah hati, ingin memegang awan, mendobrak zona nyaman, ada juga yang ingin refleksi diri, mencari relasi, atau sekadar menikmati ketenangan.
Mendaki gunung bukan sekadar soal mencapai puncak, namun juga perjalanan yang membutuhkan persiapan matang baik fisik, mental, maupun rasa hormat terhadap alam. “Puncak itu bonus, yang utama adalah proses perjalanannya,” ujarnya tegas Lasak.
Banyak pendaki baru yang mengabaikan tata krama pendakian, seperti membuang sampah sembarangan dan memutar musik keras. “Gunung adalah tempat mencari kedamaian, bukan kebisingan,” katanya.
Selain itu, bunga edelweis yang dilindungi Undang-Undang juga mulai terancam karena banyak pendaki yang memetik hanya untuk kepuasan diri dan prestise.
Malam semakin larut, dan kami kembali ke dalam tenda. Sleeping bag yang hangat kami tarik rapat, melindungi tubuh layaknya kepompong. Mata mulai terpejam, tubuh lelah namun siap mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan pendakian ke puncak esok hari.
Pukul 4 pagi, Rabu, 1 Januari 2025, tim memulai perjalanan menuju puncak Burni Telong. Dalam kegelapan, hanya cahaya senter yang menerangi jalur curam, sesekali kami harus memanjat dengan bantuan tali. Salah satu titik terberat adalah tebing dekat Goa Burni Telong, di mana Lasak dan Helmi turut membantu kami melewati medan yang penuh tantangan ini.
Meski masih gelap, kami akhirnya berdiri sejajar dengan gumpalan awan tebal, tak jauh dari puncak, matahari mulai perlahan muncul di ufuk timur, kabut perlahan mulai tersibak.
Di puncak Burni Telong, suasana begitu padat, hampir tak ada ruang untuk berdiri. Pendaki yang datang dari berbagai penjuru menyatu dalam kegembiraan, berebut posisi terbaik untuk menyaksikan pemandangan yang luar biasa.
Kami berdiri tertegun, terpesona oleh langit oranye yang menyelimuti cakrawala. Lanskap Bener Meriah dan Kota Takengon tampak menakjubkan, hamparan hijau yang luas berpadu dengan langit yang seolah menyatu.
Kami mengabadikan momen itu, berfoto dengan latar Gunung Geuredong yang gagah berdiri, menyaksikan matahari pertama tahun 2025 perlahan menyapa dunia. Di kejauhan, bayangan piramida Gunung Burni Telong terlihat jelas. Kami meresapi setiap hembusan angin dingin yang menyegarkan, sementara keindahan alam di sekitar kami seolah menghapus segala lelah.
Yulham, rekan perjalanan kami menerbangkan drone, mengabadikan momen luar biasa itu, drone merekam bayangan piramida Burni Telong yang diterpa sinar matahari pagi. Seketika, samudra awan tampak seperti kapas tak berujung terhampar luas. Kami melambaikan tangan, dan drone menangkapan momen para pendaki yang memadati puncak Burni Telong.
“Wah, akhirnya resolusi kita tercapai ya, yan!” seru Ayu dengan wajah sumringah dan semangat, sambil duduk bersama sahabatnya, Yana.
“Padahal udah sejak 2020, setelah skripsian kita, rencanain ke Burni Telong, baru tahun ini tercapai, Alhamdulillah bisa lihat matahari pertama tahun 2025!” tambah Ayu.
Bagi masyarakat Gayo, Burni Telong, yang juga disebut Burni Cempege, adalah sumber kehidupan karena aliran air panasnya memberikan manfaat besar bagi penduduk sekitar. Meskipun terletak di ketinggian dengan udara sejuk dan air dingin, udara sejuknya menghidupkan tanaman kopi dan sayuran.
Ketika matahari mulai meninggi, kami bersiap untuk kembali ke shelter 3. Ternyata, menuruni gunung lebih sulit daripada mendaki. Jika saat mendaki kami tersembunyi dalam gelap, perjalanan turun membuka pemandangan ketinggian yang curam. Jalur berbatu dan tanah yang gembur memaksa kami ekstra hati-hati agar tidak tergelincir.
Namun, perjalanan turun juga menyuguhkan keindahan tersendiri. Taman edelweis berdiri anggun di sepanjang jalur, ditemani kantong semar dan anggrek liar. Di sela pepohonan, kami sempat melihat siamang bergerak lincah bergelantungan.
Setelah perjalanan turun yang melelahkan, kami tiba di shelter 3. Aroma nasi kuning menyambut. Helmi sudah lebih dulu memasak, sementara Lasak sibuk menggoreng telur. Setelah makan dan berkemas, kami berdoa bersama sebelum melanjutkan perjalanan ke basecamp.
Tahun baru, harapan baru, dan petualangan baru. Kebersamaan, keberanian, dan keindahan alam kami saksikan bersama di puncak gunung ini. “Sampai ketemu di pendakian berikutnya,” ujar Lasak ketika kami kembali ke basecamp, lelah tetapi penuh cerita. (*)