Jumat, September 5, 2025
spot_img
BerandaAcehPerspektif Perempuan di Balik Dua Dekade Perdamaian Aceh

Perspektif Perempuan di Balik Dua Dekade Perdamaian Aceh

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Dua puluh tahun setelah penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki pada 2005, perdamaian di Aceh kerap dipandang sebagai capaian besar. Namun, bagi perempuan, damai belum sepenuhnya bermakna.

Representasi politik masih minim, hak korban konflik tak tuntas, dan ancaman baru berupa eksploitasi sumber daya alam terus menghantui.

Isu ini mengemuka dalam webinar Refleksi Dua Dekade Perdamaian Aceh dalam Perspektif Perempuan yang digelar secara hybrid di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Senin (1/9/2025).

Forum ini diinisiasi Flower Aceh bersama UN Women Indonesia, UIN Ar-Raniry, Sekolah HAM Perempuan, HMP AFI UIN Ar-raniry, BEM Fisip USK menghadirkan tokoh lintas bidang: ulama, penyintas konflik, jurnalis, pembela lingkungan, hingga akademisi.

Suraiya Kamaruzzaman, pengawas Balai Syura yang juga penerima penghargaan perdamaian internasional, menegaskan pentingnya konsistensi pelaksanaan pilar Women, Peace, and Security (WPS).

“Pelibatan perempuan, terutama dari tingkat akar rumput harus dijamin dalam agenda pembangunan Aceh. Partai politik tidak boleh abai. Isu gender dan perdamaian harus masuk dalam visi pembangunan daerah, bukan sekadar jargon,” tegasnya.

Data BPS Aceh 2024 menunjukkan keterwakilan perempuan di DPR Aceh hanya 8,97 persen, jauh di bawah kuota afirmasi 30 persen. Kondisi ini membuat isu perempuan sulit terakomodasi dalam kebijakan publik.

Hak Korban, Pendidikan Perdamaian dan Ruang Hidup

Hasnah (47), penyintas dari Aceh Utara, bercerita tentang luka panjang yang ditanggung keluarganya. Suaminya, lumpuh akibat kekerasan aparat dua dekade lalu. Ia kini menjadi tulang punggung keluarga untuk membesarkan empat anak.

“Saya jalani dengan sabar demi anak-anak. Walau bantuan pemerintah tak lagi kami rasakan, kehadiran Flower Aceh membuat saya merasa tidak sendirian,” ungkapnya.

Ulama perempuan Aceh Barat, Umi Hanisah, mengenang peran dayah yang dulu menampung anak-anak GAM dan TNI di masa konflik. Namun, dua dekade damai, dayah masih termarjinalkan.

“Operasional, guru honor, listrik, dan air belum mendapat perhatian yang adil. Dayah masih seperti anak tiri,” ujarnya.

Rubama, aktivis lingkungan, mengingatkan bahwa ancaman baru datang dari eksploitasi sumber daya alam. “Meski dua dekade perdamaian Aceh patut disyukuri, ruang hidup masyarakat terutama perempuan masih terus terancam. Gerakan perempuan Aceh harus kembali terkonsolidasi untuk memperjuangkan keadilan lingkungan,” tegasnya.

Mainar, tuha peut perempuan di Banda Aceh, juga menegaskan pentingnya keberlanjutan perdamaian. “Menjadi tuha peut perempuan di tengah budaya patriarki bukan hal mudah. Tapi saya terus berjuang agar suara perempuan tak hilang. Perdamaian memberi ruang, namun keadilan bagi korban harus diwujudkan,” katanya.

Azizah, Ketua Aksarima Pidie, juga menyampaikan nasib perempuan eks kombatan. “Banyak yang masih belum memperoleh hak sesuai MoU Helsinki, mulai dari akses lahan hingga pemulihan trauma. Perdamaian sejati baru akan bermakna bila perempuan Aceh diakui, dilibatkan, dan diberdayakan,” ujarnya

Upaya merawat ingatan sejarah melalui karya jurnalistik dan memorial publik dianggap penting. Hal itu untuk memastikan generasi berikutnya memahami akar konflik dan belajar dari pengalaman masa lalu.

Cut Nauval, jurnalis muda, juga menyampaikan peran media dalam menjaga memori kolektif. “Setiap tulisan adalah tiang penyangga perdamaian. Jurnalis, khususnya perempuan, punya tanggung jawab menghadirkan narasi yang lebih manusiawi dan adil bagi perempuan Aceh,” katanya.

Catatan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menyebut hanya 0,12 persen APBA 2025 dialokasikan untuk pemberdayaan dan perlindungan perempuan. Padahal data DP3A Aceh mencatat kasus kekerasan meningkat: 905 kasus (2020), 924 kasus (2021), 1.029 kasus (2022), hingga 1.098 kasus (2023). Per Agustus 2024, tercatat 571 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 656 kasus terhadap anak.

“Anggaran harus berperspektif gender dan berkelanjutan. Tanpa itu, program pemulihan korban hanya sebatas seremonial,” tegas Riswati, Direktur Eksekutif Flower Aceh.

Lebih lanjut Ia menegaskan bahwa suara perempuan tidak boleh lagi dipandang sebagai pelengkap.

“Perempuan akar rumput telah membuktikan perannya dalam menjaga perdamaian dan membangun Aceh, meski dalam segala keterbatasan. Kini saatnya ruang sipil perempuan diperluas, suaranya didengar, dan partisipasinya diakui di semua lini. Hanya dengan itu pembangunan Aceh bisa adil, inklusif, dan benar-benar menghadirkan keadilan bagi korban, perempuan, anak, dan kelompok marjinal,” tutupnya.

Menanggapi hal itu, Darwati A. Gani, anggota DPD RI, menegaskan bahwa perdamaian Aceh hanya akan bermakna bila diisi dengan keadilan gender. Ia berkomitmen memperjuangkan kuota keterwakilan perempuan 30% di politik, mendorong peningkatan anggaran pro-gender dari 0,12% menjadi minimal 10% APBA, memperluas layanan UPTD PPA ke seluruh Aceh, memperkuat pendidikan dan pelaporan berbasis komunitas, serta memastikan perempuan akar rumput terlibat dalam penyusunan RPJP Aceh 2025–2045.0 persen APBA, serta memperluas layanan UPTD PPA ke seluruh Aceh

Sementara itu, Kepala DP3A Aceh Meutia Juliana menegaskan bahwa DP3A Aceh berkomitmen memperkuat perlindungan dan pemberdayaan perempuan melalui implementasi Qanun No. 9/2019 dan Qanun No. 4/2025, memperluas layanan UPTD PPA di seluruh kabupaten/kota, serta mempercepat penyusunan RAD P3KS. Ia menekankan pentingnya sinergi pemerintah, komunitas, LSM, dan dukungan nasional untuk memastikan perempuan Aceh berdaya, terlindungi, dan menjadi penjaga perdamaian berkelanjutan.

Dwi Rubiyanti Khalifah, Country Representative AMAN Indonesia, menyoroti pentingnya KKR Aceh: “KKR harus dipertahankan sebagai model pengungkapan kebenaran dan keadilan transisional di Indonesia, bukan dibubarkan. Tanpa pemulihan korban, budaya impunitas akan terus hidup.”

Dahlia Madanih, Wakil Ketua Komnas Perempuan, menutup diskusi dengan refleksi: “Perdamaian sejati bukan sekadar tiadanya konflik, melainkan hadirnya keadilan, kesetaraan, dan pengakuan bagi semua warga, khususnya perempuan.”

Hak korban konflik juga menjadi perhatian. Yuliati, Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, menekankan bahwa penyelesaian perdamaian tidak cukup lewat jalur hukum.

“Pemulihan menyeluruh harus mencakup reparasi ekonomi, layanan psikososial, hingga memorialisasi yang adil bagi korban, terutama perempuan,” ujarnya.

Pada kesempatan itu, Dwi Yulianti Faiz, Kepala Program UN Women Indonesia, mengingatkan bahwa perempuan harus dilihat bukan hanya sebagai penyintas, melainkan juga aktor strategis pembangunan damai.

“Tantangan seperti rendahnya representasi politik, tingginya kekerasan, dan minimnya anggaran harus dijawab dengan kebijakan nyata,” ujarnya.

Selain pemulihan, pencegahan konflik dan pendidikan perdamaian berbasis gender dinilai mendesak. Negara, menurut peserta forum, wajib melindungi warga, terutama perempuan yang paling rentan terhadap kekerasan.

Kolaborasi multi-pihak—antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas akar rumput menjadi kunci implementasi RAN P3KS

Forum ini menghasilkan beberapa rekomendasi:
• Kuota 30 persen keterwakilan perempuan di semua tingkat politik, dari desa hingga provinsi.
• Peningkatan alokasi anggaran pro-gender hingga minimal 10 persen APBA.
• Perluasan layanan UPTD PPA di seluruh kabupaten/kota.
• Pengaktifan kembali KKR Aceh.
• Dokumentasi pengalaman perempuan korban konflik sebagai bagian integral sejarah perdamaian.
• Integrasi perspektif gender dalam RPJP Aceh 2025–2045 dan dokumen perencanaan dan kebijakan lainnya. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER