Banda Aceh (Waspada Aceh) – Tema internasional PBB “UNiTE to End Digital Violence against All Women and Girls” tahun ini menegaskan bahwa ruang digital masih belum sepenuhnya aman bagi perempuan.
Di tengah meningkatnya akses internet tanpa literasi digital yang memadai, Konsorsium PERMAMPU bersama Flower Aceh menyoroti peningkatan kekerasan digital terhadap perempuan dalam peringatan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan di Banda Aceh, Kamis (4/12/2025).
Acara yang berlangsung secara hybrid ini terhubung dengan jaringan dampingan di sepuluh provinsi di Sumatera dalam rangka kampanye global 16 Hari Aktivisme, yaitu: Aceh, SUMUT, Riau, SUMBAR, Jambi, Bengkulu, SUMSEL, Lampung dan Babel.
Kegiatan ini juga menghadirkan Dr. Khairani Arifin dari Dewan Pengurus PERMAMPU yang memaparkan perjalanan panjang advokasi hukum, mulai dari ratifikasi CEDAW hingga lahirnya UU TPKS dan revisi UU ITE. Dan menekankan pentingnya mempelajari betul pasal2 UU TPKS dan ITE untuk mencegah dan menangani Kekerasan Seksual dan Kekerasan Digital.
Sementara itu, Lili Karliani, pendamping keamanan digital dan perempuan pembela HAM, menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan digital yang kian kompleks beserta strategi keamanan digital sehari-hari. Berbagai kasus yang dikonsultasikan oleh peserta direspons dengan memberi pendalaman mengenai pencegahan maupun pelaporan kasus.
Riswati, Direktur Flower Aceh mengingatkan kembali berbagai kebijakan yang mengatur agar perempuan memperoleh perlindungan khusus dalam masa kebencanaan, sejak mitigasi, perencanaan dan respons sampai rehabilitasi.
Dampak Bencana dan Kerentanan Perempuan
Secara khusus, Koordinator PERMAMPU, Dina Lumbantobing, menyampaikan bahwa delapan organisasi anggota konsorsium itu mengeluarkan pernyataan solidaritas dan himbauan mengenai kerentanan permepuan dan kelompok marginal di situasi bencana yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Sebanyak 1.385 anggota dampingan PERMAMPU terdampak banjir, terdiri dari 733 perempuan dewasa, 134 lansia perempuan, dan 518 anak.
“Sebanyak tujuh perempuan dampingan meninggal. Satu ibu hamil dan dua ibu menyusui berada di wilayah yang terdampak berat. Kondisi lapangan menunjukkan betapa rentannya perempuan dalam situasi krisis, belum terhitung jumlah lansia dan disabilitas yang belum diperoleh datanya” ujarnya.
Laporan dari jaringan anggota menyebutkan berbagai persoalan yang muncul di lokasi banjir: air belum surut, rumah dan ladang rusak, dokumen penting hilang, serta keterbatasan bantuan di daerah yang terisolasi akibat akses jalan terputus.
Kebutuhan air dan pangan yang merupakan kebutuhan dasar serta kebutuhan khusus perempuan yang berhubungan dengan peran dan alat reproduksi menjadi sorotan khusus dalam perayaan ini.
Kelangkaan BBM turut menghambat distribusi logistik. Di sejumlah wilayah, harga kebutuhan pokok melonjak tajam, termasuk telur yang menembus Rp200.000–Rp300.000 per papan. Selain kesulitan keuangan, ketersediaan bahan makanan pokok menjadi persoalan yang memburuk dari hari ke hari. Begitu juga jaringan internet dan aliran Listrik yang terputus di banyak titik, menyulitkan evakuasi, pendataan mandiri, hingga pelacakan keberadaan pengungsi.
PERMAMPU mencatat sejumlah risiko tambahan yang dialami perempuan selama bencana. Di Aceh Tamiang, seorang ibu pasca melahirkan mengalami gangguan kesehatan akibat sulitnya akses air bersih dan layanan kesehatan. Seorang perempuan pekerja yang pulang kampung untuk membawa hasil kerjanya juga harus menghabiskan sebagian besar uangnya karena tingginya biaya transportasi, makan, dan kebutuhan dasar sepanjang perjalanan. Kelangkaan bahan makanan bahkan memicu potensi hingga aksi penjarahan di beberapa lokasi. Sejumlah community organizer, staf lapangan, dan bahkan pendiri Flower Aceh dilaporkan hilang kontak.
Di Sumatera Utara, dua staf lapangan perempuan yang sempat hilang kontak akhirnya berhasil terhubung kembali dengan PESADA. Salah satunya terjebak di pengungsian di Langkat selama tiga hari, sementara satu staf lainnya harus berjalan selama tiga hari dari Sibolga menuju Tarutung. Tim respons cepat dengan upaya yang tidak mudah berhasil menjangkau wilayah dampingan di Tapteng, membuka posko pangan dan kebutuhan dasar, serta menyalurkan dana darurat dari penggalangan dana rutin di Credit Union dan PESADA, baik dalam bentuk uang tunai maupun barang, sesuai kebutuhan perempuan marginal dan rentan.
Di Sumatera Barat, LP2M bersama wali nagari menyalurkan bahan makanan selama lima hari bagi kelompok rentan. Jaringan Credit Union di Padang melakukan pendataan bayi, lansia, dan perempuan untuk memastikan ketepatan distribusi pangan.
Ketiga anggota PERMAMPU di tiga provinsi tersebut berupaya untuk memperoleh dan melakukan pendataan terpilah, penggalangan dana internal dan eksternal, membuka layanan aduan kekerasan di lokasi pengungsian, dan mendistribusikan bantuan darurat.
Perempuan, Lansia, dan Penyandang Disabilitas Masih Rentan Saat Evakuasi
PERMAMPU menilai aturan sebenarnya sudah mengatur perlindungan kelompok rentan—mulai dari UU Penanggulangan Bencana hingga peraturan BNPB tentang kebutuhan dasar perempuan dan anak. Namun, pengalaman pendampingan di lapangan menunjukkan masih banyak persoalan dalam pelaksanaannya.
Akses layanan dasar belum merata; sanitasi tidak terpisah, ruang laktasi minim, layanan kesehatan reproduksi terbatas, dan dukungan psikososial bagi anak masih jauh dari memadai. Banyak penyintas kehilangan dokumen kependudukan sehingga terhambat mendapatkan bantuan, sementara lansia, perempuan, dan penyandang disabilitas kesulitan bergerak saat evakuasi. Partisipasi perempuan dalam struktur komando penanganan bencana juga masih rendah, sementara kapasitas petugas tidak sebanding dengan luas wilayah terdampak dan konektivitas yang terputus.
Rekomendasi untuk Pemerintah
Menjawab berbagai persoalan di lapangan, PERMAMPU mendorong sejumlah langkah perbaikan:
- Integrasi perspektif gender, anak, dan disabilitas dalam kebencanaan, antara lain:
• Penggunaan data terpilah sebagai dasar distribusi bantuan.
• Penyediaan bantuan sesuai kebutuhan khusus, seperti pembalut, diapers, kursi roda, dan obat kronis.
• Pelatihan petugas dalam menangani kekerasan berbasis gender dan perlindungan anak.
• Pelibatan komunitas rentan dalam forum pengurangan risiko bencana.
• Evakuasi inklusif dengan transportasi khusus bagi lansia dan penyandang disabilitas.
• Penyediaan informasi bencana dalam format mudah diakses, termasuk audio dan bahasa isyarat. - Pencegahan kekerasan, termasuk kekerasan digital, melalui:
• Ruang Aman atau Ruang Ramah Perempuan dan Anak (RRPA).
• Nomor pengaduan khusus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
• Pembangunan shelter aman dan inklusif dengan toilet terpisah dan penerangan memadai.
• Layanan psikososial dan pendidikan darurat.
Dalam peringatan ini, Direktur Flower Aceh, Riswati, menekankan kekerasan digital bergerak cepat, berdampak luas, dan sering tidak disadari sebagai pelanggaran hak. “Perempuan dan keluarga perlu memiliki kewaspadaan serta kemampuan melindungi diri,”jelasnya.
Koordinator PERMAMPU, Dina, menambahkan situasi perempuan dan kelompok rentan tidak boleh diabaikan. “Perlindungan mereka harus menjadi prioritas dalam setiap tahap penanggulangan, dan peningkatan literasi digital menjadi kebutuhan mendesak,”jelasnya (*)



