Banda Aceh (Waspada Aceh) – Perlindungan terhadap perempuan dan anak di Aceh masih menghadapi berbagai tantangan serius.
Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan tercatat cukup tinggi sepanjang tahun 2024, sementara upaya layanan perlindungan belum merata di seluruh wilayah.
Kondisi ini menuntut penguatan kolaborasi lintas sektor secara lebih intensif untuk memastikan semua perempuan dan anak mendapatkan hak perlindungan yang layak.
Situasi ini mengemuka dalam Pertemuan Koordinasi Terpadu untuk Memperkuat Kolaborasi Multisektor dalam Meningkatkan Layanan dan Perlindungan bagi Perempuan dan Anak di Aceh yang diselenggarakan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh dengan dukungan UNICEF dan Flower Aceh sebagai mitra pelaksana, di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, Jumat (25/4/2025).
Dalam sambutannya, Kepala DPPPA Aceh, Meutia Juliana, mengungkapkan, meski Indeks Perlindungan Anak (IPA) Aceh pada 2022 mencapai 66,89 sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional sebesar 63,2 namun ketimpangan layanan perlindungan antar wilayah masih menjadi persoalan mendasar.
“Akses terhadap layanan perlindungan belum merata, sistem rujukan belum sepenuhnya terintegrasi, dan koordinasi antar lembaga penting terus diperkuat. Ini menjadi pekerjaan rumah bersama,” kata Meutia.
Sepanjang tahun 2024, tercatat 1.227 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh, terdiri atas 720 kasus kekerasan terhadap anak dan 571 kasus kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, angka perkawinan anak masih menjadi perhatian serius, dengan 5,88 persen anak perempua n menikah sebelum usia 18 tahun.
Meutia menekankan, kasus-kasus yang tercatat kemungkinan besar hanyalah sebagian kecil dari jumlah yang sebenarnya terjadi di masyarakat.
“Kolaborasi lintas sektor menjadi sangat penting. Tidak ada satu lembaga pun yang bisa bekerja sendiri dalam menangani perlindungan perempuan dan anak,” ujar Meutia.
Ia juga mengajak semua pihak memanfaatkan momentum pertemuan ini untuk memperkuat komitmen dan kerja sama.
Perluas Jangkauan Layanan
Kepala Kantor UNICEF perwakilan Aceh, Andi Yoga Tama, dalam kesempatan yang sama, menegaskan pentingnya membangun sistem perlindungan anak yang kuat dan terintegrasi.
Ia menyampaikan fakta bahwa dari 23 kabupaten/kota di Aceh, baru tujuh daerah yang memiliki Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) yang definitif dan operasional.
“Keterbatasan layanan ini memperkuat tantangan kita. Pendekatan sistemik berbasis Child Protection System Strengthening (CPSS) menjadi penting untuk memastikan keberlanjutan perlindungan terhadap perempuan dan anak,” ujarnya.
Ia juga menekankan pendekatan layanan CEKATAN Cepat, Tepat, Komprehensif, dan Terintegrasi sebagai kunci untuk merespons kebutuhan korban secara manusiawi dan bermartabat.
UNICEF, lanjutnya, berkomitmen mendampingi Pemerintah Aceh dalam proses penguatan sistem, mulai dari peningkatan kapasitas, asistensi teknis, hingga pengembangan standar pelayanan.
Sementara itu, Direktur Flower Aceh, Riswati, mengatakan bahwa kolaborasi multisektor sangat penting untuk memperluas jangkauan layanan dan memperkuat perlindungan perempuan dan anak, terutama di wilayah-wilayah yang masih minim akses layanan.
“Momentum ini harus kita manfaatkan untuk memperkuat komitmen bersama, memastikan perempuan dan anak-anak di Aceh mendapatkan perlindungan yang layak, tanpa terkecuali,” ujar Riswati.
Pertemuan koordinasi ini diikuti oleh berbagai pemangku kepentingan dari instansi pemerintah, lembaga nonpemerintah, akademisi, hingga perwakilan sektor swasta.
Diharapkan, melalui sinergi ini, langkah konkret dapat segera diwujudkan untuk memperkuat sistem perlindungan perempuan dan anak di seluruh Aceh. (*)