BANDA ACEH (Waspada): Rencana Pemerintah Aceh mengeluarkan Pergub (Peraturan Gubernur) untuk APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh), justeru hanya akan menciptakan kekisruhan politik dan “huru-hara” jalannya roda pemerintah selama setahun kedepan.
Dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah, Rustam Efendi menerangkan, menyampaikan hal itu menjawab pertanyaan Waspada di Banda Aceh, Rabu (28/2). Landasan hukum Pergub bukan menjadi solusi terbaik, tapi malah bisa menimbulkan kekisruhan baru, ujarnya.
Rustam Efendi menambahkan, tidak ada satupun hal yang positif dari pengesahan APBA 2018 dengan menggunakan landasan hukum Pergub. Sebab, terangnya, ada banyak kelemahan, diantaranya sanksi berupa pemotongan atau disentif keuangan penundaan DAU.
Selain itu juga, sambungnya, pemanfaatan pendapatan tidak akan maksimal, sebab pagu yang digunakan hanya mengacu pada nilai APBA tahun sebelumnya, jelasnya. Disisi lain, implementasi program dan kegiatan hanya akan menjadi ranah eksekutif, dan ini akan menyebabkan hilangnya program usulan masyarakat yang disampaikan masyarakat sebagai konstituen lembaga legislatif.
Pergub sebagai landasan hukum APBA, sebutnya, tidak akan dapat melahirkan program yang strategis yang sifatnya multi years. Sebab, secara aturan, kegiatan seperti ini hanya dapat dilaksanakan dengan persetujuan bersama, papar Rustam.
Dan hal yang pasti akan terjadi, ungkapnya, stabilitas politik dan psikologi antar lembaga. Dan hal ini akan mendorong penguatan fungsi pengawasan lembaga DPR Aceh. “Pergub inikan seperti eksekutif yang menjadi dokter beda dengan memotong dua fungsi kewenangan DPRA, yakni anggaran dan legislasi,” tukasnya.
Dan tentu saja, jikapun kemudian ini benar benar dilaksanakan, jajaran eksekutif, terutama kepala SKPA atau kepala Dinas akan sangat berhati hati dalam melaksanakan program dan kegiatan, sebab, penguatan fungsi pengawasan DPRA, akan menyebabkan pelaksana kegiatan tidak ingin berurusan dengan lembaga penegak hukum.
“Kalaupun kemudian ditanyakan kepada saya, apa keuntungan atau kelebihan dari Pergub APBA bagi rakyat. Jawab saya hanya hal ini akan mempercepat proses pemanfaatan dana publik, yang selama ini tidak kunjung disahkan oleh kedua pihak.”
Namun percayalah, dampak negatif atau mudaratnya akan jauh lebih besar. Sebab, hal ini akan berdampak serius pada proses pengantar nota keuangan 2018, dan juga LKPJ, serta pembahasan Qanun liiainnya yang dibutuhkan oleh eksekutif. “Huru Hara politik pasti akan terjadi, harus benar-benar dipikirkan dengan matang dan bijak,” tandasnya.
Kritikan Mualem
Kritikan sebelumnya dilontarkan Ketua Partai pemilik kursi besar di DPRA, Muzakir Manaf. Intinya Mualem, panggilan Muzakir Manaf, menegaskan, bila kebijakan itu berpihak dan menguntungkan rakyat, partainya akan mendukung.
Mualem memberi perumpamaan bila RABPA di Pergubkan seperti ini katanya dalam bahasa Aceh yang khas, “sidroe mw mete, sidroe me palee 5 kg”. Maksudnya kalau RAPBA dipergubkan nanti proyek tidak bisa jalan, semua akan diukur spesifikasinya, kalau gak pas ya akan dibongkar dengan palu.
Dengan kata lain, DPRA akan melakukan fungsi pengawasan dan kontrol terhadap jalannya pemerintah secara lebih ketat, tidak ada kompromi.
Makanya Mualem menyebutkan, masih ada waktu untuk duduk bersama membicarakan soal RAPBA 2018 untuk dibahas di DPRA. “Sekecil apa pun peluang masih bisa dimanfaatkan, kedua pihak (DPRA dan Gubernur) jangan saling ngotot, silahkan duduk kembali untuk membahas RAPBA yang terbaik untuk rakyat.”
Beberapa hari lalu, Publik Aceh dikejutkan dengan surat Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, ditujukan kepada Ketua DPRA, Muharuddin, perihal batas waktu pembahasan RAPBA yang sudah mencapai 60 hari kerja.
Surat bernomor 903/7601 tertanggal 27 Februari 2018, kata Irwandi Yusuf, sesuai Undang-undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah khususnya yang berkaitan dengan penetapan APBD, menyebutkan, apabila kepala daerah dan DPRD tidak mengambil persetujuan bersama dalam waktu 60 hari sejak disampaikan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rancangan APBA oleh kepala daerah kepada DPRD, maka kepala daerah menyusun dan menetapkan Peraturan Daerah tentang APBD.
Berkenaan dengan hal tersebut, gubernur memandang perlu untuk memberitahukan kepada DPRA bahwa batas waktu persetujuan bersama antara Gubernur Aceh dan DPRA terhadap Rancangan Qanun tentang APBA tahun 2018.
Ketika Waspada konfirmasi ulang seputar surat Gubernur tersebut, Juru Bicara Pemerintah Aceh, Saifullah Abdul Gani, menyatakan. surat itu tidak menyatakan bahwa gubernur mengeluarkan Pergub. Jadi, dalam surat itu, Pak Gubernur tidak bicara soal Pergub RAPBA 2018,” kata pria yang akrab disapa SAG, ini.
RAPBA Aceh tahun 2018 sekitar Rp14 Triliun. Pembahasannya, seperti tahun sebelumnya selalu alot. Untuk tahun ini boleh dibilang alami deadlock. Karena itu, proses penggunaan dananya juga akan mengalami kendala waktu.
Diperkirakan bakal alami Silpa sebagai konsekuensi dari terlambatnya pengesahaan RABPA. Tahun 2017 Silpa Aceh sekitar Rp 1,4 Triliun. Dana sebesar itu tidak bisa digunakan akibat berbagai proyek terbengkalai akibat terkendala waktu. (B.01)