Banda Aceh (Waspada Aceh) – Tak banyak yang tahu, deretan pohon besar yang menaungi Jalan Tgk Imum Lueng Bata hingga Simpang Surabaya ternyata lahir dari tangan seorang lelaki paruh baya: M. Khudri.
Di usia 60-an, ia masih setia merawat tanaman, meski lapaknya kini hanya seluas 10 meter di tepi jalan.
Dulu sebelum tsunami 2004, kawasan ini dikenal sebagai sentra penjualan bunga. Khudri bersama ayah angkatnya mengisi tepi jalan dengan deretan tanaman warna-warni.
“Dulu, sepanjang jalan ini seperti taman berjalan. Orang lewat, pasti singgah,” kenangnya saat ditemui Waspada Aceh, Minggu (10/8/2025).
Ketika ayah angkatnya wafat, dan Khudri melanjutkan usaha itu seorang diri, di lahan yang kini tinggal 10 meter.
“Kalau lewat sini, lihat pohon-pohon besar di pinggir jalan, itu saya yang tanam waktu kerja sama dengan wali kota,” ujarnya sambil menunjuk deretan batang tua yang kokoh berdiri.
Meski begitu, semangatnya tidak pernah kering. Ia tak hanya menjual tanaman berbagai jenis, mulai dari Kanaka atau Pedang-Pedangan yang tetap jadi buruan pencinta tanaman.
Kini, di depan kantor JNE selain menjual tanaman, dia juga membuka bengkel kecil, menjual minyak, dan jajanan. Semua itu ia lakukan sambil menjaga hobi yang ia sebut sebagai “terapi hati”: menanam.
“Bunga mungkin sudah jarang orang cari, tapi tanaman hijau tidak pernah kehilangan penggemarnya,” katanya.
Yang tak banyak orang tahu, pohon-pohon besar yang kini menaungi Jalan Tgk Imum Lueng Bata adalah hasil kerja tangannya.
“Saya tanam waktu ada kerja sama dengan wali kota. Pohon itu saksi saya muda dulu, sekarang tumbuh besar, mungkin umurnya sudah dua dekade,” ujarnya sambil menatap rindang daun yang berayun pelan.
Bagi Khudri, tanaman bukan sekadar barang dagangan. Ia melihatnya sebagai warisan kota.
“Kalau saya tanam hari ini, yang menikmatinya nanti anak cucu kita. Pohon itu seperti doa yang terus tumbuh,” katanya.
Setiap kali ia menyiram pot-pot kecil di lapak sederhana itu, seolah ia sedang menyiram kenangan dan harapan. Di tengah teriknya aspal kota, hijau yang tumbuh dari tangannya menjadi oase kecil—tempat orang mencari teduh, sekaligus menemukan cerita.(*)