Sabang (Waspada Aceh) – Pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dalam dunia jurnalisme bukan ancaman, melainkan peluang bagi wartawan untuk bekerja lebih produktif tanpa kehilangan nilai integritas dan kredibilitas.
Hal itu disampaikan Haresti Asysy Amrihani, akademisi Ilmu Komunikasi dari Universitas Indonesia (UI), dalam kegiatan bertajuk “Optimalisasi Pemanfaatan AI untuk Produktivitas Jurnalis yang Kredibel dan Berintegritas,” di Sabang, Selasa (4/11/2025).
Haresti, yang akrab disapa Hesti, saat ini juga tengah menempuh studi doktor di Universitas Indonesia dengan fokus penelitian pada pemanfaatan AI dan komunikasi digital.
Ia menjelaskan bahwa penggunaan teknologi dalam ruang redaksi merupakan keniscayaan yang tak dapat dihindari di tengah persaingan industri media yang kian ketat.
“AI membantu proses pencarian data, analisis, dan penyusunan informasi. Tapi ruh sebuah berita tetap lahir dari nalar kritis dan nurani jurnalis,” ujar Hesti, yang juga menjabat sebagai Wakil Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) DKI Jakarta.
AI Bukan Pengganti Jurnalis
Menurut Hesti, AI seharusnya dipandang sebagai asisten kerja digital bagi jurnalis, bukan pengganti manusia. Teknologi ini dapat dimanfaatkan untuk mengotomatisasi tugas-tugas teknis seperti transkripsi wawancara, analisis data, hingga penyusunan headline, sehingga wartawan bisa lebih fokus pada liputan yang mendalam dan berdampak.
Dalam pemaparannya, Hesti turut memperkenalkan tool NotebookLM, yang dapat membantu jurnalis dalam melakukan riset dan mengelola data berbasis dokumen.
“Teknologi itu ibarat rekan kerja. Ia bisa mempercepat pekerjaan, tapi kendali tetap di tangan manusia,” katanya.
Etika dan Nilai Jurnalisme Harus Tetap Dijaga
Hesti menegaskan, penggunaan AI dalam jurnalisme harus tunduk pada prinsip etika dan kebijakan yang berlaku di Indonesia. Ia merujuk pada sejumlah regulasi yang menjadi rambu-rambu etis penggunaan kecerdasan buatan di ruang publik dan industri media.
Di antaranya, Surat Edaran Menkominfo No. 9 Tahun 2023 tentang Tata Kelola AI, Panduan Kode Etik AI di industri fintech, dan Peraturan Dewan Pers No. 1 Tahun 2025 tentang Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Karya Jurnalistik.
Selain itu, Kementerian Kominfo juga tengah menyiapkan Tata Kelola Pemanfaatan AI Nasional yang direncanakan akan diumumkan pada tahun 2026
Lanjutnya, pemanfaatan AI dalam jurnalisme tidak boleh mengabaikan nilai-nilai dasar seperti akurasi, objektivitas, dan akuntabilitas.
“AI hanyalah alat bantu dalam pencarian data dan informasi. Jurnalislah yang menentukan topik dan memberikan ruh, sehingga tercipta produk jurnalistik yang berkualitas,” jelasnya.
Ia juga menyoroti fenomena media yang terlalu berorientasi pada optimasi search engine (SEO). Menurutnya, jurnalisme sejati tetap berpihak pada kepentingan publik, bukan algoritma.
“Menulis jangan sekadar memenuhi kebutuhan SEO. SEO hanyalah alat, sementara jurnalisme adalah tentang kepentingan publik,” tegas Hesti.
Lebih lanjut, Hesti mengungkapkan bahwa perkembangan teknologi AI akan menggantikan sekitar 85 juta pekerjaan pada tahun 2025, namun juga menciptakan 97 juta peluang baru.
Ia menekankan, keberhasilan transformasi media berbasis AI tidak ditentukan oleh teknologi semata, melainkan oleh kesiapan sumber daya manusia, budaya organisasi yang mendukung inovasi, dan tata kelola bisnis yang adaptif.
“Tugas kita bukan melawan teknologi, tapi memastikan nilai jurnalisme tetap hidup di dalamnya,” tutur Hesti. (*)



