Jumat, Mei 2, 2025
spot_img
BerandaPeneliti: Pendidikan Sektor Kelautan Aceh Harus Diperkuat untuk Lindungi Pekerja Perikanan

Peneliti: Pendidikan Sektor Kelautan Aceh Harus Diperkuat untuk Lindungi Pekerja Perikanan

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Pendidikan di sektor kelautan dan perikanan di Aceh perlu lebih diperkuat untuk memastikan tenaga kerja yang terampil dan terlindungi.

Hal ini menjadi penting agar para pekerja, khususnya buruh perikanan, tidak terus-menerus berada dalam posisi rentan, terpapar risiko perdagangan orang (TPPO) dan eksploitasi tenaga kerja.

Pernyataan ini disampaikan oleh Crisna Akbar, peneliti kebijakan kelautan dan perikanan dari Greenpeace, yang juga merupakan bagian dari Tim 9 Aceh, dalam rangka peringatan Hari Buruh pada 1 Mei dan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei.

Crisna mengungkapkan bahwa meskipun banyak lulusan sekolah kelautan di Aceh, mereka masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk kurangnya jaminan sosial dan ketenagakerjaan yang layak.

“Pendidikan sektor kelautan seharusnya tidak hanya mencetak tenaga kerja terampil untuk memenuhi kebutuhan industri perikanan, tetapi juga memastikan bahwa mereka dilindungi secara sosial dan hukum. Tanpa perlindungan yang jelas, banyak dari mereka yang menjadi korban eksploitasi atau bahkan perdagangan orang,” kata Crisna.

Menurutnya, hingga kini, buruh perikanan asal Aceh belum memiliki jaminan sosial yang memadai. Hanya sebagian kecil yang mendapatkan perlindungan ketenagakerjaan, yang mayoritas bekerja tanpa perjanjian kerja yang jelas. Akibatnya, mereka rentan terhadap berbagai ancaman, baik di dalam negeri maupun internasional.

“Pendidikan kelautan dan perikanan harus lebih dari sekadar memberikan keterampilan. Harus ada sistem yang jelas untuk melindungi pekerja, mulai dari perekrutan yang transparan hingga perlindungan hukum yang memadai di tempat kerja,” tambahnya.

Crisna juga menyoroti kurangnya kejelasan dalam mekanisme perekrutan pekerja kapal perikanan di Aceh. Banyak yang ditempatkan di kapal-kapal perikanan tanpa jaminan kerja yang jelas dan tanpa perjanjian kerja yang formal. Hal ini mengakibatkan mereka tidak dilindungi secara hukum dan rentan terhadap eksploitasi.

Sebagai bagian dari desakan untuk memperbaiki kondisi ini, Crisna mengingatkan pentingnya ratifikasi Konvensi ILO 188 Tahun 2007 yang mengatur perlindungan terhadap pekerja kapal perikanan. Meskipun konvensi ini memberikan standar perlindungan yang jelas, Indonesia hingga kini belum meratifikasinya.

Ia juga mengapresiasi komitmen Presiden Prabowo pada peringatan hari buruh kemarin yang menyoroti pentingnya perlindungan bagi pekerja di sektor kelautan, perikanan, dan perkapalan.

Prabowo menyatakan akan merancang undang-undang khusus untuk memastikan hak-hak pekerja terlindungi dan kondisi kerja mereka lebih manusiawi.

“Pemerintah harus lebih serius dalam menangani masalah ini, terutama dalam menyusun undang-undang yang melindungi pekerja di sektor kelautan.
Kami mengapresiasi komitmen Presiden Prabowo untuk merancang undang-undang perlindungan pekerja sektor perikanan, namun kami di Aceh akan terus mengawal agar prosesnya tidak berhenti begitu saja,” tegasnya.

Aceh, yang masih menjadi daerah rawan TPPO, memerlukan perhatian khusus dalam hal pendidikan dan perlindungan pekerja perikanan. Data dari Sumatera Environmental Initiative (SEI) mencatat setidaknya 43 korban TPPO dalam lima tahun terakhir, banyak di antaranya adalah alumni sekolah perikanan.

“Pendidikan di sektor kelautan harus berfokus pada pemberdayaan sekaligus perlindungan. Pekerja yang terdidik harus bisa bekerja dengan aman, tanpa takut menjadi korban eksploitasi atau TPPO,” tutup Crisna. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER