Banda Aceh (Waspada Aceh) – Penambang rakyat di Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie, Aceh, memiliki cara tersendiri dalam mengelola tambang emas tanpa merusak alam.
Mereka berpegang pada hukum adat yang telah diwariskan turun-temurun, menjadikan tambang sebagai bagian dari kehidupan sekaligus penjagaan terhadap alam ulayat.
“Hutan itu ibarat tubuh kami, sungai yang mengalir ibarat urat, sedangkan air ibarat darah. Kalau kami rusak, sama saja kami membunuh diri sendiri,” kata Muhammad Nasir, yang akrab disapa Abuchik Ninja, penambang rakyat di Geumpang, Selasa (7/10/2025).
Menurut Nasir, masyarakat Geumpang telah menambang emas sejak ratusan tahun lalu. Pola penambangan mereka berbeda dengan perusahaan besar. Setiap titik galian dibuat kecil dan hanya mengambil bagian inti dari urat emas. Setelah selesai, lubang kembali ditutup agar tanah bisa pulih.
“Kami hanya ambil inti emasnya. Setelah itu kami tutup lagi. Tiang-tiang penyangga juga dicabut supaya tanah kembali rata,” ujar Nasir.
Metode ini diwariskan secara turun-temurun dan dijalankan dengan memperhatikan keseimbangan alam.
Nasir menjelaskan, setiap penambang wajib mematuhi aturan adat, termasuk larangan membuka kawasan hutan tertentu yang disebut “hutan larangan”.
Kawasan itu tidak boleh disentuh karena dianggap memiliki nilai ekologis dan spiritual. “Biasanya di sana tempat ikan bertelur atau lokasi yang punya sejarah. Kalau kami langgar, adat bisa menghukum,” ujarnya.
Menambang dengan Kearifan Lokal
Masyarakat Geumpang percaya bahwa alam memiliki tanda-tandanya sendiri. Setelah area tambang digunakan, mereka menunggu rumput tumbuh sebagai penanda tanah mulai hidup kembali sebelum melakukan penanaman ulang.
“Kalau rumput belum tumbuh, tanah belum siap. Kalau sudah hijau, baru kami tanam lagi,” kata Nasir.
Ia menambahkan, bahkan untuk menebang kayu pun ada aturan adatnya. Pohon hanya boleh ditebang bila batangnya sudah kering atau air di dalamnya tidak lagi mengalir. “Kalau masih ada airnya, itu racun bagi tanah,” ujarnya.
Dampak Ekonomi
Setelah konflik Aceh berakhir, tambang rakyat menjadi penggerak utama ekonomi di tiga kecamatan: Geumpang, Mane, dan Tangse. Menurut Nasir, perputaran ekonomi di wilayah itu melonjak hingga 500 persen dibandingkan masa sebelum damai, bahkan hampir menyamai separuh APBD Kabupaten Pidie.
Setiap satu unit ekskavator tambang melibatkan lebih dari 100 orang pekerja warga sekitar. Artinya, tambang rakyat tidak hanya menjadi sumber penghasilan bagi individu, tetapi juga roda ekonomi berbasis komunitas.
Meski begitu, hingga kini masyarakat Geumpang belum memiliki legalitas resmi. Pemerintah belum menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang mereka usulkan.
Akibatnya, tambang rakyat kerap dianggap ilegal, sementara sebagian besar wilayah tambang justru telah masuk ke dalam izin perusahaan.
“Kami sudah menambang sebelum Indonesia ada. Tapi sekarang tanah kami jadi izin perusahaan,” ujar Nasir.
Ia mengaku telah menambang sejak 1997 dan memahami cara merawat alam. Namun, usulan WPR yang diajukan masyarakat selama 15 tahun belum juga disetujui, sementara izin perusahaan terus bermunculan. Kini, Pemerintah Kabupaten Pidie kembali mengusulkan penetapan WPR.
Nasir berharap pemerintah segera menindaklanjuti penetapan tersebut agar tambang rakyat memiliki legalitas hukum tanpa mengabaikan kearifan lokal dalam menjaga alam. (*)