Jumat, Agustus 15, 2025
spot_img
BerandaTulisan FeaturePelukan Sang Panglima di Jim-jim, Jejak Maskur Abdullah di Konflik Aceh

Pelukan Sang Panglima di Jim-jim, Jejak Maskur Abdullah di Konflik Aceh

Markas itu dijaga ketat, di dekat balai, setidaknya 20 kombatan, siaga bersenjata.

“Terima kasih atas laporan Anda di BBC. Cukup bagus,” ujar Tgk. Abdullah Syafi’i. Suaranya tenang, bersahabat, tapi matanya dalam—berlumur sejarah Aceh.

Maskur Abdullah hanya mengangguk. Saat itu ia duduk di sebuah rumah panggung di lereng bukit, di tengah jantung wilayah Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Angin gunung menembus dinding balai. Di luar, puluhan pria bersenjata siaga.

Bagi Maskur, momen itu terasa seperti akhir dari sebuah perjalanan panjang dan awal dari sesuatu yang lebih berisiko.

Sejak 1998, Maskur—koresponden BBC Siaran Indonesia—sudah terbiasa masuk ke wilayah “panas” di Aceh Timur, Lhokseumawe, dan Pidie. Medan–Banda Aceh lewat jalur darat nyaris menjadi rute mingguan.

Ia paham benar risiko yang mengintai. Banyak media, baik nasional maupun lokal, tertekan oleh militer. Berita dari medan konflik pun kerap condong pada sudut pandang otoritas. Di hutan, para panglima GAM meyakini wartawan Indonesia bisa menjadi corong lawan.

Itulah sebabnya, Tgk. Abdullah Syafi’i enggan ditemui jurnalis lokal. Tapi, di mata Tgk Lah, BBC berbeda. Siarannya netral. Beritanya tidak berpihak. Dari balik rimba, sang panglima mendengar suara Maskur; menangkapnya dalam ingatan—dan percaya.

***

Agustus 1999, Maskur kembali ditugaskan ke Pidie. Kali ini meliput pengungsi di halaman Masjid Abu Beureueh, Beureunuen. Saat sedang bekerja, dua pria berpakaian preman menghampiri.

“Abang Maskur ya? Dari BBC London?”
Maskur menatap mereka. “Anda dari mana?”

“Kirim salam Panglima Tgk. Abdullah Syafi’i. Panglima mengundang abang untuk wawancara.”

Maskur menahan jawaban. Ia harus berkonsultasi dulu dengan London. Malam itu, ia menelepon Menuk Suwondo—kepala BBC Siaran Indonesia. Arahan Menuk singkat tapi tegas: “Pastikan Anda aman. Kalau meragukan, batalkan. Nyawa Anda lebih berharga dari berita.”

Jejak jurnalis Maskur Abdullah di kawasan Aceh Utara saat tugas liputan untuk BBC Siaran Indonesia tahun 1998, sebelum pencabutan status DOM (Daerah Operasi Militer). (Foto/dok pribadi)

Pagi berikutnya, Maskur berangkat dari Sigli, ditemani Tarmilin Usman, jurnalis Serambi Indonesia. Mereka naik motor menuju sebuah masjid di tepi sungai. Di sana, penunjuk jalan sudah menunggu.

Rute menuju Jim-jim penuh ketegangan. Di beberapa titik, lima hingga tujuh pria kekar menenteng senjata. Jalan setapak berliku di antara perladangan. Beberapa jembatan kayu berderit di bawah roda motor.

Di depan sebuah rumah panggung, tepatnya disebut balai, perjalanan terhenti. Dari atas bukit, muncul sosok berseragam hijau, baret di kepala, sten gun di tangan. Ia turun, memberi salam.

Pelukan pun terjadi. Akrab, seolah mereka sahabat lama. Padahal ini pertemuan pertama Maskur dengan Sang Panglima.

Markas itu dijaga ketat. Di dekat balai, setidaknya 20 kombatan bersenjata. Tak jauh dari situ, tiga perempuan inong balee berbincang dengan pejuang lain.

Di dalam balai, Tgk. Lah mempersilakan Maskur duduk. Percakapan dimulai. Isu pertama: 17 Agustus yang tinggal hitungan hari.

Otoritas militer mewajibkan semua rumah mengibarkan merah putih. Tgk. Lah mengirim pesan lewat BBC: “Silakan kibarkan demi keselamatan. Yang penting hati tetap untuk kemerdekaan Aceh.”

Ia juga menanggapi kelompok-kelompok yang mengatasnamakan GAM. Tapi tegas ia berkata, “Mereka bukan GAM. Mereka bekerja untuk militer.” Di samping Tgk Lah, ada Kamaruddin Abubakar alias Abu Razak.

Sebelum berpisah, Tgk. Lah memberi pesan pribadi, “Kalau ada apa-apa dengan pihak GAM, hubungi saya. Katakan Maskur Abdullah itu saudara saya.”

***

Beberapa tahun kemudian, Januari 2002, berita duka datang. Tgk. Abdullah Syafi’i gugur bersama istrinya, Cut Fatimah, dalam penyergapan TNI di Jim-jim, Pidie.

Abdullah Syafi’i—lebih dikenal dengan Teungku Lah—lahir di Seuneubok Rawa, sebuah desa terpencil di Bireuen, Aceh, pada 12 Oktober 1947. Tgk Lah bersekolah di Madrasah Aliyah Peusangan, Bireuen, dan belajar agama di beberapa pesantren di Aceh. Sebelum bergabung dengan GAM, ia tergabung dalam rombongan teater Jeumpa, Bireuen.

Dua Bus Dibakar

Perjalanan pulang Maskur Abdullah dari Jim-jim hari itu bukan akhir dari cerita. Di tengah jalan menuju Sigli, Maskur melihat asap tebal membubung. Dua bus terbakar. Bagian kepala bus nyungsep ke sawah, bagian belakangnya tetap di tepi jalan.

Pagi tadi, saat ia melintas menuju markas GAM, bus-bus itu belum terlihat. Warga setempat mengatakan, bus itu melintas, tiba-tiba distop beberapa lelaki bersenjata, kemudian membakarnya. Sopir dan penumpangnya berhamburan menyelamatkan diri. Sekarang bus itu tampak hangus, api pun masih berkobar.

Aceh kala itu memang hidup dalam nadi ketakutan. Jalanan sepi. Pos-pos militer berdiri di titik-titik strategis. Karung-karung tanah menumpuk di depan pos penjagaan, pelindung seadanya dari serangan mendadak.

Itulah lanskap kerja seorang jurnalis perang di tanah sendiri—dimana pelukan pertama dengan seorang panglima bisa saja juga menjadi yang terakhir. (*)

  • Catatan ini dikutip dari eBook berjudul: RISALAH JURNALIS DI KONFLIK ACEH, yang disusun Ramadan MS dan editor Maskur Abdullah.
BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER