Kamis, November 21, 2024
spot_img
BerandaNasionalPelarangan Jilbab Paskibraka, Tindakan Anti Konstitusi

Pelarangan Jilbab Paskibraka, Tindakan Anti Konstitusi

“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun, dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Oleh: Dr. Wiratmadinata, S.H., M.H.

Memalukan, menghina akal sehat, memuakkan dan memprihatinkan; bergemuruh dalam hati dan kepala kita mengetahui soal “pelarangan” pemakaian jilbab atau kerudung, terhadap Pasukan Pengibar Bendera Pusaka Merah Putih (Paskibraka), saat dikukuhkan oleh Presiden Djoko Widodo di Istana Negara Ibukota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, Selasa (13/8/2024).

Perasaan ini tergambar tidak hanya dalam pikiran saya, tetapi juga dari sebagian besar rakyat Indonesia. Itu terlihat melalui kritik dan protes yang ditayangkan melalui semua media massa di Indonesia; mulai dari MUI, DPR-RI, KNPI, Alumni Purna Paskibraka sendiri, hingga elemen-lemen masyarakat.

Berbagai organisasi kemasyarakatan (Ormas) juga telah menyampaikan keluhannya soal ini. Media sosial, gegap gempita mengecam tindakan “diskriminatif” ini dengan sangat keras.

Perbuatan pelarangan jilbab tersebut adalah tindakan “Anti-konstitusi”; pelecehan terhadap UUD-1945, pemerkosaan terhadap hak-hak asasi manusia warga negara, serta pengingkaran terhadap doktrin Kesatuan Bangsa :Bhineka Tunggal Ika (Berbeda Beda Tapi Satu). Padahal doktrin ini tercantum jelas dalam UUD-1945, Pasal 36 A yang berbunyi: “Lambang negara ialah Garuda Pancasila, dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika”.

Dalam lambang ini jelas pemaknaannya; Pancasila menjadi inti Garuda Pancasila itu sendiri. Kata “Bhineka” itu artinya adalah “keberagaman” (suku, budaya, agama, politik, pandangan hidup, dst). Bhineka Tunggal Ika adalah jati diri dari Negara Republik Indonesia itu sendiri yang beragam, dan disebut dengan “Nusantara” (keberagaman geografis).

Secara simbolis pengibaran Sangsaka Merah Putih di IKN sebenarnya adalah upaya untuk menunjukkan hakikat dari; Keberagaman, Kenusantaraan dan Kemerdekaan, karena dilakukan dalam rangka upacara Kemerdekaan 17 Agustus.

Sesungguhnya, ini adalah masalah fundamental (bukan wacana biasa) dalam konteks Konstitusi dan Ketatanegaraan; Dasarnya; jilbab dan kerudung adalah pakaian bagi perempuan Muslim, dan adalah hak mereka mengenakan pakaian tertentu sebagai identitas sosial, budaya maupun agama.

Hal itu dilindungi langsung oleh Konstitusi tertulis UUD- 1945, khususnya Pasal 28 (i); yang berbunyi: “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun, dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Dari bunyi pasal ini, jelas hak-hak para muslimah yang dipaksa melepas jilbab tersebut telah dilanggar, apapun alasannya. Konon lagi, alasan yang tidak masuk akal dan terkesan asal bunyi.

Bahkan jika dikaitkan dengan posisi jilbab sebagai atribut “agama” dalam bentuk pakaian seorang muslimah, maka larangan ini juga bertentangan dengan Pasal 29 UUD-1945 tentang kebebasan beragama, yang berbunyi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (1) dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (2)”.

Seharusnya ini sudah sejak awal dipahami, tidak ada yang boleh mengganggu orang yang sedang menjalankan agama dan kepercayaannya. Dan jilbab adalah manifestasi kebebasan beragama, serta kebebasan orang dalam menjalankan agama serta kepercayaannya, sebagaimana dialami 18 Paskibraka putri yang dicederai haknya tersebut.

Lebih jauh lagi jika dikaitkan dengan penggunaan jilbab sebagai bentuk kebudayaan Islam yang dianut oleh para pengibar putri Paskibraka tersebut, maka tindakan BPIP telah melanggar, Pasal 32 (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia, dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Jelas bahwa mengenakan jilbab sudah menjadi bagian dari budaya Indonesia, yang secara faktual hidup di tengah-tengah bangsa Indonesia. Konstitusi melindungi jilbab dalam konteks kebebasan mengembangkan kebudayaan ini.

Dengan demikian, pemaksaan membuka “pakaian” ini melalui surat resmi, berupa SE (Surat Edaran Deputi Diklat No.1 Tahun 2024/BPIP, ditambah lagi pengakuan dari Kepala BPIP sendiri, yaitu Yudian Wahyu (tidak ingin saya tulis gelar profesornya di sini) bahwa ada surat bermaterai yang harus ditandatangni oleh 18 Paskibraka putri itu; membuktikan jelas bahwa mereka tidak paham isi Pancasila dan UUD 1945.

Oleh karena itu dapat diduga, mereka juga tidak paham Pancasila; baik dari ranah Filsafat Pancasila, dan kaitannya dengan UUD 1945, serta bagaimana Pancasila itu dibumikan dalam kehidupan sosial, politik, agama, hukum dan ketatanegaraan.

Dari sini gamblang sekali dapat dipahami bahwa secara personal maupun kelembagaan, Yudian Wahyu, tidak mengerti Pancasila, termasuk konteksnya dengan “Kemerdekaan” dan “kenusantaraan”, sehingga tidak pantas memimpin BPIP, dan selayaknya diberhentikan dari jabatannya; demi Pancasila, UUD-1945, serta kehormatan lembaga BPIP itu sendiri. Semoga harapan ini bisa diteruskan nantinya oleh para elit politik di Jakarta.

Dengan berbagai uraian saya di atas, baik secara legalistik-konstitusional, simbolik filosofis, maupun kontekstual, maka Ketua BPIP telah melakukan kesalahan paling fundamental, terutama kalau dilihat dari jabatannya sebagai orang yang paling bertanggungjawab dalam masalah pembinaan “ideologi Pancasila”.

Jenis kesalahan ini sangat memalukan bagi orang yang memahami Pancasila dan UUD-1945, juga menghina akal sehat warganegara ketika dilakukan oleh BPIP sendiri yang beratribut “ideologi Pancasila”.

Hal ini membuat kita kian prihatin, betapa minimnya kualifikasi orang yang diberi jabatan sebagai “penjaga ideologi Pancasila”. Belum lagi jika melihat posisi BPIP sebagai respresentasi negara, maka tindakan pelarangan pemakaian jilbab tersebut adalah pelanggaran HAM murni dari negara.

Menutup tulisan ini saya ingin meminta presiden terpilih, Prabowo Subianto, yang akan dilantik Oktober nanti dengan pesan: Selamatkan Pancasila, dan hidupkan jiwanya dalam “Ucapan dan Perbuatan Nyata”. MERDEKA!. (*)

  • Penulis adalah seorang akademisi 
BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER