Banda Aceh (Waspada Aceh) – Penutupan perbatasan lintas negara dan pembatasan sosial telah mengganggu rantai pasokan dan permintaan kopi.
“Akibatnya, pasokan tidak dapat disalurkan dan konsumsi tertekan,” kata Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Aceh, Armia, menjawab Waspadaaceh.com, Senin (15/2/2021), terkait dengan pasar kopi dari Aceh.
Dia mengatakan, dengan adanya pembatasan berpergian, tutupnya kafe dan restoran di negara konsumen, mengakibatkan turunnya permintaan kopi asal Aceh.
“Terbatasnya space kapal pengangkut juga menjadi kendala terhambatnya pengiriman ekspor ekspor kopi,” lanjutnya kepada Waspadaaceh.com melalui jawaban tertulis.
Menurut Armia, turunnya permintaan serta hambatan pengiriman menyebabkan kopi menumpuk di gudang eksportir dan pedagang lokal. Hal itu mengakibatkan harga kopi turun hingga 50-60 persen jika dibandingkan tahun lalu, sebelum pandemi COVID-19.
“Khusus untuk pasar Eropa, kopi organik telah mengalami penurunan permintaan sebelum COVID-19, karena level kandungan kimia glyphosate kopi Gayo di atas level yang diperkenankan oleh Uni Eropa (0.01 mg/kg),” tuturnya.
Armia menambahkan bahwa penurunan ekspor kopi akibat glyphosate sekitar 10 persen, serta akibat pademi COVID-19 sekitar 20-30 persen.
Ketua AEKI Aceh tersebut mengatakan, Aceh memproduksi 60-65 ribu ton kopi green bean atau bahan mentah. Pada setiap musim, 98-99 persen kopi jenis Arabika dijual ke pasar mancanegara dan 1-2 persen kopi dijual di pasar domestik.
Armia menjelaskan, jenis kopi Arabika berasal dari tiga kabupaten, yaitu Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Sementara untuk jenis kopi Robusta berasal dari Kabupaten Aceh Besar, untuk kebutuhan pasar lokal. (cut nauval dafistri)