Untuk kedua kalinya penulis mengunjungi objek wisata Lubang (terowongan) Jepang di Bukittinggi, Sumatera Barat, tepatnya di sekitar Ngarai Sianok. Pertama pada tahun 2011, ketika Lubang Jepang masih belum begitu tertata dengan baik. Penulis bersama pengunjung lain, saat itu hanya cukup puas dengan menyaksikannya dari depan pintu terowongan.
Berbeda dengan kunjungan penulis kali kedua, Sabtu (10/2/2018), bersama teman-teman jurnalis dari Banda Aceh. Objek wisata ini sudah tertata cukup rapi, dan pelayanan para petugasnya juga cukup mengesankan. Beberapa terowongan ini di antaranya terletak di bawah kota Bukittinggi, dan kawasan Ngarai Sianok. Masuk dari Taman Panorama, samping Istana Bung Hatta dan Benteng Fort de Kock sekitar Kebun Binatang Bukittinggi.
Pemandu wisata, Ujang, yang menemani para jurnalis dari Aceh menelusuri Lubang Jepang itu mengatakan, terowongan tersebut memiliki 136 anak tangga, dengan lebar 2 meter, kedalaman 42 meter dan panjang sekitar 1.470 meter. Lubang Jepang ini dibangun atas perintah Letjen Moritake Tanabe, Panglima Divisi ke 25 Angkatan Darat Balatentara Jepang.
Lubang Jepang ditemukan pertama kali pada awal tahun 1950. Lalu pemerintah melakukan penggalian untuk menemukan jalur-jalur lain terowongan peninggalan Jepang tersebut. Setelah hampir seluruh jalur ditemukan dan dinilai cukup aman untuk dikunjungi, pemerintah setempat membuka untuk umum pada tahun 1984
Terowongan ini , menurut Ujang, dikerjakan selama 3 tahun oleh romusha (pekerja paksa), yang didatangkan Jepang dari beberapa daerah di Indonesia, antara lain pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan daerah lain. Ada banyak yang tewas pada masa kerja paksa itu, kata Ujang, menceritakan kembali sejarah keberadaan Lubang Jepang.
Terowongan (bungker) ini dibangun pada masa pendudukan Jepang, sekitar tahun 1942, sebagai benteng pertahanan Jepang. Terowongan ini sebagai gudang perbekalan, persenjataan/amunisi, ruang rapat, ruang penyergapan, pintu pelarian hingga tempat interogasi, pengadilan dan penjara. Bungker ini konon mampu menahan ledakan bom seberat 500 Kg.
“Di sini romusha yang dianggap bersalah, diadili. Selanjutnya ditahan di penjara yang di ujung sana,” ujar Ujang, sambil menunjuk salah satu terowongan yang digunakan sebagai penjara oleh tentara Jepang di masa itu. Pengunjung yang memasuki terowongan ini akan keluar dari pintu di sisi bukit berikutnya, persis di pinggir jalan raya.
Setidaknya ada sekitar 21 terowongan berukuran lebih kecil yang mempunyai fungsi berbeda. Paling menyeramkan adalah ruang dapur yang konon difungsikan untuk memutilasi tahanan yang sudah tewas, kemudian dibuang melalui lubang air yang mengalir turun ke bawah. Ada yang berukuran sedang ada pula yang berukuran kecil dan rendah. Terowongan yang berukuran kecil dan rendah, menurut Ujang, sebagai jalan pelarian tentang Jepang bila diserang musuh.
“Tentara Jepang itu pendek-pendek, jadi mereka dengan mudah lari ke dalam terowongan ini. Mereka turun dengan menggunakan akar-akar kayu di pintu keluar, itu persis di Ngarai Sianok, dan mereka masuk ke dalam hutan,” kata Ujang, yang mengaku sudah pernah ke Vietnam dan melihat terowongan yang dibuat Vietkong di sana.
Objek Wisata Ditata Baik
“Saya kagum melihat pemerintah daerah di sini. Mereka benar-benar mendukung pariwisata sehingga banyak orang yang tertarik datang ke sini. Lubang Jepang ini satu dari begitu banyak objek wisata yang bisa menghidupi banyak orang,” kata Haris, jurnalis dari Banda Aceh.
Objek wisata di Propinsi Sumatera Barat memang terlihat ditata dengan baik oleh pemerintah setempat. Semua tempat bisa menjadi objek wisata menarik, mulai dari panorama alam, tempat bersejarah, legenda (cerita rakyat), termasuk pula adat dan budayanya.
Terkait dengan Hari Pers Nasional 2018, yang dipusatkan di kota Padang, banyak yang menyempatkan diri berkunjung ke kota wisata Bukittinggi. Sepanjang perjalanan dari Padang menuju Bukittinggi, rombongan jurnalis Aceh mampir ke beberapa lokasi wisata yang cukup menarik. Mulai dari jembatan Siti Nurbaya, Pelabuhan Teluk Bayur, Malin Kundang, hingga wisata alam air terjun Lembah Anai, pemandian alam, dan ke perkampungan perajin tenun, sulaman/bordir.
Penulis mengunjungi kawasan pedesaan, Pandai Sikek, sebelum sampai ke Bukittinggi. Ini adalah desa para perajin tenun, sulaman dan bordir. Hampir di depan setiap rumah di desa ini, terdapat kios yang memajang beragam busana hasil produksi perajin lokal. Harganya pun bervariasi, dari yang murah ” puluhan ribu – hingga yang berharga jutaan.
“Setiap hari Jumat, Sabtu dan Minggu, sangat ramai orang dari luar Sumbar yang datang berbelanja di sini,” ujar Putri, seorang pegawai salah satu galeri. Walau berada di pedesaan, galeri di sini tidak hanya menerima pembayaran tunai, tapi juga nontunai (kartu kredit/kartu debet).
“Pemerintah di Sumatera Barat ini kelihatan benar-benar cukup siap menata semua objek wisata di sini,” ujar HT Anwar, jurnalis dari Banda Aceh ketika mengunjungi objek wisata Jam Gadang, yang sudah cukup dikenal di Indonesia.
Jurnalis ini memimpikan daerah Aceh juga bisa mengelola objek-objek wisatanya seperti di Sumatera Barat ini. “Ada banyak objek wisata di Aceh. Seandainya ditata dengan baik, seperti yang ada di Sumbar ini, betapa makmurnya rakyat Aceh,” kata HT Anwar. #
Penulis: Maskur Abdullah