Jakarta – Tujuh poin rekomendasi dihasilkan dari Dialog Pembangunan Ekonomi Aceh Hebat dalam Forum Silaturahmi Aceh Meusapat yang dilaksanakan Kantor Badan Penghubung Pemerintah Aceh (BPPA) di Jakarta, pada 30 Juni 2019, dan didukung oleh berbagai kalangan.
Mulai dari pengusaha, anggota DPR RI, ketua Partai, hingga Wali Nanggroe. Mereka berharap dialog tersebut dapat membuka peluang baik bagi Aceh dan anak cucu di masa depan.
Salah satu dukungan tersebut juga datang dari salah satu wartawan seniot Aceh, yang kini berdomisili di Jakarta. Dia adalah alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1997), dan peraih gelar M.Sc untuk politik dan sejarah internasional di London School of Economics (LSE), Universitas London, Inggris (2007).
Pada saat dialog, Nezar Patria yang dipercaya menjadi moderaror dalam acara tersebut, mengatakan, apa yang telah didiskusikan dalam forum telah menjawab sebagian besar kerinduan atas dialog sehat antara masyarakat, pemerintah dan dunia usaha.
Menurutnya, diskusi seperti itu dapat menjadi salah satu solusi bagi generasi muda Aceh untuk memahami tentang problem krusial Aceh hari ini, terutama dalam mengantisipasi tenggat waktu dana outsus yang akan berakhir beberapa tahun ke depan.
“Ekonomi Aceh harus dibangun dengan semangat entrepreneur yang tinggi, dengan memanfaatkan potensi komoditi, terutama pertanian dan perkebunan serta perikanan.”
“Aceh harus memanfaatkan posisinya yang strategis di Selat Malaka, pintu gerbang Indonesia untuk urusan ekspor-impor komoditi itu,” ujar Nezar, yang juga Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga Dewan Pers, periode 2016-2019.
Nezar mengatakan, untuk menjalankan poin-poin rekomendasi tersebut, perlu pula Pemerintah Aceh menciptakan jejaring bisnis dengan perspektif outward looking, yakni memperkaya pemahaman pemerintah terhadap persoalan internal, atau melakukan perubahan internal ke arah lebih baik.
Begitu pula terkait pernyataan Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, bahwa saat ini di Aceh investasi loyo dan kemiskinan meningkat, Nezar berharap masalah tersebut harus segera dicarikan solusinya.
Sebagaimana diketahui, kata Nezar, hingga saat ini perekonomian Aceh digerakkan oleh konsumtif poeple, bukan pada sektor produktif.
“Artinya, harus pula dibangun kekuatan dagang yang berkelanjutan dan Pemerintah Aceh harus menggandeng berbagai praktisi untuk mencari solusinya sesegera mungkin,” jelas dia.
Nezar juga menekankan agar Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Aceh yang baru, Makmur Budiman, dapat menjadi motor dan motivator dalam pembangunan ekonomi Aceh.
Selama ini KADIN Aceh sebagai salah satu poros ekonomi yang diharapkan mampu menggerakan usaha-usaha di Aceh, belum mampu bekerja secara maksimal.
“Kadin Aceh harus menjadi penggerak untuk menciptakan pebisnis-pebisnis muda, dan motivator untuk inovasi bisnis. Ada banyak komoditi yang bisa digarap dari hulu ke hilir dari sektor industri pertanian dan juga perikanan,” ujarnya.
Terkait ekonomi kreatif, Nezar juga meminta pemerintah untuk membangkitkan sektor tersebut. Perlu juga dipikirkan membangun ekonomi dari desa, dengan memanfaatkan dana milik Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) yang dipadukan dengan jaringan teknologi.
“Kita bisa belajar dari China dan India bagaimana mereka mampu mengembangkan UKM dengan bantuan teknologi. Dengan internet via media sosial dan paltform e-commerce, mereka bisa memasarkan produk rumah tangga di pelosok China ke seluruh dunia,” jelas Nezar, yang juga Pimpinan Redaksi The Jakarta Post, salah satu koran berbahasa Inggris di Jakarta.
Dialog tersebut menampilkan empat pembicara, yakni Kepala Kantor Bank Indonesia Perwakilan Aceh, Zainal Arifin Lubis, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Dr. Ir. Hamman Riza, M.Sc., Rektor Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Prof. Dr. Syamsul Rizal, M.Eng., dan Kapala Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Aceh, Ir. Sabri Basyah. (Ria)