Jumat, April 26, 2024
Google search engine
BerandaLaporan KhususNestapa Muslim Rohingya: Dari Myanmar ke Bangladesh, Terdampar di Serambi Mekkah 

Nestapa Muslim Rohingya: Dari Myanmar ke Bangladesh, Terdampar di Serambi Mekkah 

“Kami percaya bahwa di negara mayoritas Muslim kami dapat menjalani kehidupan yang lebih baik”

Muslim Rohingya sepertinya selalu hidup dalam nestapa. Hampir enam tahun sejak eksodus dari Provinsi Rakhine, Myanmar, karena diburu militer negara tersebut, ratusan ribu pengungsi etnis Rohingya masih belum bisa mendapatkan keadilan.

Mereka melarikan diri dari kampung halaman demi keselamatan jiwa. Memilih pergi via jalur laut ke negara lain yang lebih aman. Menantang maut, dalam satu bahtera, mereka berhimpitan dengan ratusan penumpang lainnya menuju negeri harapan.

Hingga beberapa hari lalu, tepatnya Minggu (8/1/2023), mereka terdampar di perairan Aceh. Sekitar 184 orang etnis Rohingya mendarat di Aceh setelah kapal mereka terombang-ambing di laut selama berminggu-minggu.

Akhirnya mereka harus menepi di bibir pantai Kuala Gigieng Lamnga, Kecamatan Krueng Raya, Aceh Besar. Di antara pengungsi banyak yang terlihat linglung dan bingung, setelah menempuh pelayaran penuh tantangan.

Beberapa pengungsi lainnya tampak mengalami dehidrasi. Mayoritas perempuan bercadar dan anak-anak. Ada pula, kaum pria, yang kemudian terisak tak terkendali, tubuh mereka terengah-engah, limbung. Seakan tidak percaya bahwa mereka masih hidup.

Dibantu Badan Pengungsi

Penanganan para pengungsi dibantu oleh Organisasi Migrasi Internasional (IOM) dan Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Ini adalah kapal kelima yang membawa pengungsi Rohingya ke Aceh sejak bulan November 2022.

Selasa (10/1/2023), jurnalis Waspadaaceh.com berkunjung ke Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Rumoh Seujahtera Beujroh Meukarya. Fasilitas ini mikik Dinas Sosial Provinsi Aceh yang ada di Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, sebagai kamp mereka.

Tempat ini adalah rumah sementara para imigran Rohingya. Kini tempat tersebut telah menampung 241 pengungsi Rohingya. Kamp dibagi terpisah laki-laki dan perempuan.

Saat jurnalis tiba di kamp pukul 10.30 WIB, matahari terasa sangat terik. Para pengungsi tampak sedang menjemur pakaian baik pada ranting pohon maupun digelar di atas rerumputan sekitar kamp. Di antara mereka juga ada yang sedang beristirahat dan tidur beralaskan terpal.

Di pergelangan tangan para imigran melingkar gelang warna merah sebagai penanda identitas mereka. Sangat sulit berkomunikasi dengan para imigran Rohingya. Hanya ada sedikit dari mereka yang bisa berbahasa Melayu dan Inggris.

Seorang pengungsi Rohingya, Muhammad Fairuz, 23 tahun, seorang aktivis Rohingya, yang fasih berbahasa Inggris, bersedia menceritakan kisah mereka hingga sampai ke Indonesia. Fairuz tiba di Aceh bersama 56 orang lainnya, persisnya di Pantai Indra Patra, Aceh Besar pada Minggu (25/12/2022).

Mengenakan kaus berwarna kuning, berkulit gelap, alis tebal, dan mata bulat, dia langsung mendekati jurnalis untuk menumpahkan banyak hal tentang Rohingya.

Dia menyebutkan, kehidupan mereka di negara asal yaitu Myanmar, porak-poranda, dan penuh ketakutan. Hal tersebut yang membuat mereka memilih meninggalkan Myanmar. Menyusul tindakan brutal militer Myanmar pada tahun 2017. Ratusan ribu warga Rohingya telah meninggalkan negara itu dan berlabuh di negara-negara tetangga. Fairuz berasal dari Negara Bagian Rakhine, yang terletak di pantai barat Myanmar.

Pengalaman menyedihkan baginya, saat ia kehilangan sang Ayah yang menjadi korban pembunuhan di Myanmar. Selama ia tinggal di Myanmar ia tidak bisa menamatkan pendidikannya di salah satu universitas di Myanmar, lantaran selama 4 tahun itu ia mengalami diskriminasi di negara asalnya.

“Kami tidak diberikan kesempatan untuk berkembang. Sangat sulit untuk menyelesaikan perkuliahan di sana, karena mereka tau saya Muslim,” tuturnya.

Letak geografis yang hanya dipisahkan oleh Sungai Naf menjadikan Bangladesh wilayah terdekat dengan Rakhine, sebagai salah satu tujuan utama pelarian orang-orang Rohingya. Mereka kabur ke sana dan ditempatkan di kamp pengungsian.

Saat mengungsi, Fairuz tinggal di kamp Kutupalong, berada di Ukhia , Cox’s Bazar, Bangladesh. Dia mengatakan di sana terdapat sekitar 32 kamp untuk pengungsi Rohingya. Namun, kesuraman menyelimuti kamp pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar. Lebih dari satu juta anggota minoritas Muslim tanpa kewarganegaraan tersebut tinggal di kamp-kamp yang penuh sesak.

Tidak sedikit dari mereka dikenakan pembatasan pergerakan yang ketat. Hal tersebut telah menghambat kemampuan mereka untuk bekerja, belajar, bahkan mendapat akses medis. Dia merasa kondisi ekonomi, kesehatan,dan pendidikan sudah tidak lagi memungkinkan. Kondisi tersebut yang mendorong orang-orang Rohingya untuk keluar dari Cox’s Bazar.

Mereka diajak oleh seseorang agar bisa berangkat ke negara lainnya untuk bisa bertahan hidup lebih baik. Untuk keberangkatan di antara mereka ada yang rela membayar mulai dari Rp2 Juta hingga Rp11 Juta.

“Kami memutuskan untuk keluar dari kawasan itu. Seseorang mengajak kami untuk pergi dari sana dengan menggunakan kapal,” jelasnya.

Begitu juga yang dihadapi oleh Muchtar Ahmad, 37 tahun. Ia berangkat bersama istrinya dan lima anaknya. Sambil menggendong anaknya bernama Azurahman, berusia 1,5 tahun, Muchtar bercerita terkait kondisi yang dialami selama berada di kamp pengungsian di Bangladesh. Ia memutuskan untuk ikut berlayar agar mendapatkan kehidupan lebih baik terutama untuk masa depan anak-anaknya.

“Keluarga kami hidup serba kekurangan saat berada di kamp, semua serba dibatasi. Anak-anak kami juga tidak dapat dididik di sana. Maka ke mana pun kami pergi bertujuan memperoleh kehidupan lebih baik ,” tutur Muchtar berbahasa Myanmar yang diterjamahkan oleh Fairuz.

Fairuz juga menjadi pengajar selama di kamp pengungsian. Dia kerap menyuarakan Justice For Rohingya melalui akun media sosialnya. Namun banyak hal yang membatasinya bahkan ia juga mengaku terancam dibunuh.

“Kami percaya bahwa di negara mayoritas Muslim kami dapat menjalani kehidupan yang lebih baik, ” harapnya.

Fairuz becerita bagaimana bisa mencapai Serambi Mekkah, dengan kapal kayu yang mereka tumpangi berangkat dari Bangladesh.

Mulanya sang kapten akan membawa mereka ke Malaysia. Namun dalam perjalanan, boat yang mereka tumpangi sempat rusak, kemudian sang kapten menaiki boat kecil untuk mencari pertolongan. Namun saat di tengah perjalanan, sang kapten tidak kembali.

Kapal mereka kemudian bisa beoperasi kembali setelah sempat ditolong oleh nelayan yang melintasi perairan tersebut. Mereka mengarungi lautan sekitar 27 hari. Terombang-ambing di tengah laut yang minim makanan dan minuman.

“Kami tidak tau arah kemana akan berlayar dan hanya mengikuti di mana arah gunung,” jelasnya.

Ancaman tenggelam, dehidrasi, dan kelaparan bukan satu-satunya yang dihadapi oleh mereka yang melakukan perjalanan laut secara ilegal tersebut. Hingga mereka melihat satu titik sebuah gunung dan mereka memutuskan untuk mengikuti titik hingga sampailah mereka di Aceh.

Fairuz mengaku bersyukur, bisa tiba daerah Serambi Mekkah ini. Meskipun dia tidak tau bagaimana nasibnya ke depan. Fairuz berharap agar dirinya bisa mendapatkan kehidupan seperti layaknya manusia normal pada umumnya. Selama bertahun-tahun Fairuz telah menyandang status sebagai pengungsi tanpa kepastian masa depan.

“Kami ke sini hanya ingin mendapatkan perlindungan dan kedamaian. Ingin hidup normal tanpa ada ancaman. Sampai kapan kami akan hidup seperti ini?,” tanya Fairuz. (*)

Waspada Aceh on TV

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER