Kamis, Mei 2, 2024
Google search engine
BerandaAcehMusyawarah Perempuan Nasional 2024, Aceh Bahas 5 Isu Krusial

Musyawarah Perempuan Nasional 2024, Aceh Bahas 5 Isu Krusial

Banda Aceh  (Waspada Aceh) – Dalam Musyawarah Perempuan Nasional 2024 yang digelar secara hybrid selama dua hari pada 26-27 Maret 2024, begitu besar partisipasi aktif dari seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, termasuk dari  Provinsi Aceh.

Munas tersebut juga turut diikuti oleh perwakilan perempuan dari enam kabupaten/kota di Aceh. Antara lain Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Aceh Tamiang, Pidie, Aceh Utara dan Aceh Barat. Mereka mewakili 21 desa, menyoroti lima isu utama yakni ekonomi perempuan, kepemimpinan perempuan, kesehatan perempuan,  kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta upaya penghapusan perkawinan di bawah usia 19 tahun.

Musyawarah ini merupakan hasil kolaborasi antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan organisasi masyarakat sipil yang menjadi mitra program inklusi, termasuk Konsorsium Perempuan Sumatera Mampu (Permampu).

Plt. Sekretaris Kementerian PPPA, Titi Eko Rahayu, menjelaskan bahwa forum ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan partisipasi perempuan dan kelompok rentan lainnya dalam pembangunan. Ia menekankan bahwa pembangunan yang merata dan adil memerlukan suara dan kontribusi dari semua lapisan masyarakat.

Flower Aceh, yang merupakan salah satu anggota Konsorsium Perempuan Sumatera Mampu (Permampu), terlibat dalam pendampingan perempuan marginal di Aceh. Direktur Flower Aceh, Riswati mengatakan pentingnya pendampingan bagi perempuan marginal dalam meningkatkan kapasitas, pendidikan kritis, dan pemberdayaan ekonomi.

“Sebelum digelarnya Munas, kami menggelar pertemuan dan  diskusi per desa dan tingkat kabupaten yang melibatkan SKPA terkait dan perwakilan Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput (FKPAR). Peserta musyawarah berasal dari Kabupaten Aceh Besar, Aceh Utara, dan Aceh Tamiang, membawa aspirasi dari tingkat desa hingga provinsi untuk dibahas secara mendalam,” kata Riswati.

Hasil diskusi kata  Riswati  bahwa dari aspek peningkatan ekonomi perempuan yaitu  perlunya akses modal usaha, peningkatan kapasitas manajemen usaha, dan izin usaha bagi UMKM, serta perhatian khusus pada pemberdayaan ekonomi bagi kelompok disabilitas.

Dalam konteks kepemimpinan, budaya patriarki tetap menjadi tantangan yang harus diatasi. Diperlukan upaya meningkatkan kesadaran akan hak-hak dan potensi perempuan dalam bidang kepemimpinan, sekaligus memastikan bahwa perempuan terlibat dalam proses pembangunan baik akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat, kemudian diperlukan peningkatan kapasitas perempuan, termasuk dalam hal keterampilan public speaking.

Di bidang kesehatan, Riswati menyoroti pentingnya edukasi tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) serta aktivasi posyandu remaja. Dia juga menekankan pentingnya sarana prasarana yang ramah disabilitas, serta inisiasi atau perkuat Rumah Gampong Gizi (RGG).

Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh terus terjadi dengan pola beragam seperti kekerasan seksual, perundungan atau bullying di sekolah atau di pesantren, kasus kekerasan dalam rumah tangga karena masalah ekonomi. Penting untuk memberikan pemahaman tentang perlindungan dan pemenuhan hak perempuan dan anak, upaya menghindari KDRT.  Perlu diterapkan sanksi tegas bagi pelaku kekerasan seksual. Edukasi tentang pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak harus ditingkatkan.

Terkait penghapusan pernikahan di bawah usia 19 tahun, Riswati juga  mengatakan menurut data Mahkamah Syariah dalam lima tahun terakhir, terdapat 2.784 permohonan dispensasi nikah.  Beberapa faktor meliputi masalah ekonomi, pola asuh keluarga yang lemah, pergaulan bebas yang berujung pada hamil di luar nikah, pemaksaan perkawinan dan masih banyak faktor lainnya.  Sosialisasi UU 16 tahun 2019 tentang pernikahan dan pemahaman tentang dampak negatif pernikahan dini diharapkan dapat mengurangi pernikahan usia di bawah 19 tahun .

“Musyawarah ini sangat penting bagi kami karena  dapat menjadi tonggak penting dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan kelompok rentan di Aceh, serta mendorong perubahan positif dalam masyarakat,” ungkap Riswati.

Sementara itu, Pemerintah Aceh melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berupaya  meningkatkan layanan perlindungan anak melalui pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).

“Saat ini, baru 10 dari 23 kabupaten/kota di Aceh memiliki UPTD PPA, dan 13 lainnya masih dalam proses pembentukan,” kata Kepala Dinas DP3A Meutia Juliana.

Selain itu, pihaknya juga sedang fokus pada pelatihan aktivis terpadu berbasis masyarakat desa yang ramah perempuan dan peduli anak.

Program-program berbasis komunitas seperti Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) , Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA), dan hotline layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 juga ditingkatkan. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER