“Sekarang kapal pembangkit litsrik seberat 2.600 ton ini menjadi saksi bisu dahsyatnya gelombang tsunami 20 tahun lalu”
Pada Minggu (10/11/2023), pukul 14.30 WIB, di bawah terik matahari Banda Aceh, sejumlah wisatawan yang baru saja turun dari bus pariwisata tampak mengenakan topi dan kacamata hitam.
Mereka mengantri untuk membeli tiket sebelum memasuki Museum Kapal PLTD Apung di Desa Punge Blang Cut, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh. Saat memasuki area ini, wisatawan disambut oleh tugu bertuliskan “Monumen Tsunami” dengan miniatur ukiran kapal di atasnya.
Di situ ada juga gambaran ukiran jam yang menunjukkan waktu tepat saat gempa dan tsunami terjadi pada Minggu, 26 Desember 2004. Di belakang tembok, tertera nama-nama korban tsunami dari Gampong Punge Blang Cut.
Kemudian, tampak kapal berukuran panjang 63 meter ini berdiri kokoh dengan cerobong asap besar di bagian atasnya. Terlihat dari kejauhan seakan menjadi monumen raksasa yang menjulang di tengah-tengah permukiman warga.
Bangunan inilah dulunya merupakan kapal apung pembangkit listrik tenaga diesel dengan kapasitas 10,5 megawatt yang ditempatkan untuk memenuhi kebutuhan energi Aceh.
Kapal tersebut dibuat di Batam tahun 1996 dan sempat beroperasi di Kalimantan selama dua tahun. Keberadaannya di Banda Aceh untuk menyuplai listrik. Karena daerah itu acap kali mengalami gangguan, ketika saat itu terjadi konflik antara pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Namun, bencana tsunami pada 26 Desember 2004 mengubah segalanya. Tsunami menghempaskan kapal raksasa seberat 2.600 ton ini hingga lima kilometer ke daratan. Kapal ini mendarat di tengah pemukiman penduduk yang kini tersisa reruntuhan sebagai saksi bisu malapetaka itu.
Sekelilingnya tampak reruntuhan bangunan-bangunan lama, dinding retak, dan bekas pondasi rumah-rumah yang pernah berdiri megah sebelum disapu ombak dahsyat yang merenggut ribuan nyawa itu.
Memasuki bagian dalam kapal, hawa panas langsung menyergap. Meskipun sejumlah AC telah dipasang. Udara tetap terasa gerah karena struktur kapal yang terbuat dari besi tebal.
Namun, pengunjung tampak antusias menyusuri ruang-ruang besar yang dahulu berfungsi sebagai tempat penyimpanan generator listrik berkapasitas 10,5 megawatt. Pada masa konflik Aceh generator ini memasok energi di kawasan Banda Aceh dan sekitarnya.
“Saya bisa membayangkan betapa dahsyatnya kekuatan alam yang mampu memindahkan kapal sebesar ini sejauh lima kilometer dari laut,” ujar Raisa, seorang wisatawan asal Malaysia, sambil menyeka keringat di dahinya.
Bagian dalam kapal kini difungsikan sebagai ruang edukasi mitigasi bencana, dilengkapi dengan ilustrasi visual mengenai proses terdamparnya kapal PLTD Apung.
Pemerintah Aceh pun menambahkan berbagai informasi yang mendukung pemahaman masyarakat tentang tsunami. Tujuannya agar generasi selanjutnya memahami pentingnya kesiapsiagaan bencana dan belajar dari masa lalu.
Di atas kapal, pengunjung dapat menaiki dek untuk menikmati panorama Banda Aceh dari ketinggian. Pemandangan sekitar yang dihiasi bangunan-bangunan baru serta reruntuhan bangunan lama seolah menghadirkan gambaran nyata tentang kebangkitan Aceh dari tragedi.
Salah seorang wisatawan dari Medan tampak antusias berfoto bersama rombongannya. “Tempat ini memberi saya perspektif baru tentang bagaimana masyarakat Aceh mampu bangkit dari bencana sebesar ini,” tuturnya.
Sementara itu, sekelompok siswa tampak sedang mengerjakan tugas sejarah mereka. Dengan ponsel di tangan, mereka merekam suasana museum, mengabadikan setiap informasi dan detail yang ada. Mereka tengah mengerjakan tugas sejarah untuk membuat konten edukatif mengenai kapal PLTD Apung.
Suhaila, salah satu siswa dari SMA 11 Banda Aceh, mengaku bahwa tugas ini membantunya lebih memahami dampak bencana yang selama ini hanya ia dengar dari cerita.
“Saat datang ke sini, saya lebih bisa membayangkan besarnya bencana tsunami itu,” ucapnya.
Museum ini menjadi pusat pembelajaran yang tak ternilai bagi generasi muda dan para wisatawan. Mereka datang untuk mengenang, mengambil hikmah, serta mengingatkan diri pada kuasa alam yang maha dahsyat.
Jannah, salah satu staf di loket PLTD Apung, menjelaskan sebelum memasuki museum, pengunjung harus membeli tiket secara non-tunai atau QRIS seharga Rp3.000 pada hari biasa dan Rp5.000 saat akhir pekan.
Jam operasional museum mulai pukul 09.00 WIB hingga 17.30 WIB, dengan penutupan sementara saat shalat Zuhur dan Asar. Kunjungan siswa SD tidak dikenakan biaya karena bertujuan edukasi.
Tak heran jika museum ini selalu ramai dikunjungi, baik oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Sebagian penyintas tsunami di Gampong Punge Blang Cut kini memperoleh pendapatan sebagai pemandu wisata.
Sejak dibuka pada 2012, Kapal PLTD Apung tidak hanya menjadi situs tsunami Aceh, tetapi juga berkah bagi warga sekitar.
Salah satunya, dana pembangunan masjid di sana berasal dari kotak amal sumbangan pengunjung. Pelaku UMKM juga turut merasakan manfaat dengan menjual souvenir dan oleh-oleh khas Aceh. (*)