Jakarta – Perusahaan kreditur (leasing), tidak bisa begitu saja menarik atau menyita kenderaan, rumah atau barang secara sepihak tanpa keputusan pengadilan.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, perusahaan pemberi kredit (leasing) harus meminta permohonan eksekusi kepada Pengadilan Negeri (PN) terlebih dahulu.
“Penerima hak fidusia tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri,” demikian bunyi Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020.
Sebagaimana dilansir dari CNNIndonesia.com, Juru Bicara MK, Fajar Laksono, Senin (13/1/2020), menyatakan, dalam putusannya, MK menyatakan tidak boleh lagi ada penarikan barang leasing langsung kepada pemilik barang.
Menurut Fajar, selama ini banyak kasus penarikan langsung barang leasing melalui pihak ketiga seperti debt collector atau penagih utang. Cara penarikannya pun kerap dilakukan sewenang-wenang.
Dalam putusannya itu, MK menyatakan selama ini tak ada tata cara pelaksanaan eksekusi atau penarikan barang leasing jika kreditur melewati tenggat pembayaran. Akibatnya muncul paksaan atau kekerasan dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pembayaran tersebut atau kerap disebut debt collector.
Sedangkan jika merujuk ketentuan eksekusi yang diatur Pasal 196 HIR atau Pasal 208 Rbg menyebutkan, eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh perusahaan kreditur (leasing) atau dalam istilah hukum disebut sebagai penerima fidusia atau penerima hak, melainkan harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri.
“Jika terjadi cedera janji atau wanprestasi, eksekusi jaminan fidusia tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia (perusahaan kreditur), melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri,” ucap hakim seperti dikutip dari putusan yang diunggah di website MK. (**)