Medan (Waspada Aceh) – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan adanya indikasi kartel dalam meroketnya harga minyak goreng di pasaran. Indikasi ini ditemukan karena 46% pasar minyak goreng didominasi oleh empat produsen.
Hal itu disampaikan Komisioner KPPU, Ukay Karyadi, dan Direktur Ekonomi, Mulyawan Renamanggala, dalam forum jurnalis secara virtual, Jumat (21/1/2022). KPPU juga melihat kenaikan harga minyak goreng dipicu kenaikan permintaan crude palm oil (CPO) di industri biodisel dan pasar internasional.
“Penetapan harga oleh pemerintah saat ini bagus dalam jangka pendek, namun untuk jangka panjang belum dapat menyelesaikan persoalan industri yang diwarnai oleh tingginya konsentrasi pelaku usaha yang terintegrasi dan kebijakan yang belum mendorong peningkatan jumlah pelaku usaha di industri,” kata Ukay Karyadi.
Ukay mengatakan penelitian dilaksanakan dan dilatarbelakangi lonjakan harga minyak goreng dari bulan Oktober 2021 hingga mencapai Rp 20.000 per liter dan adanya dugaan kartel dalam kenaikan harga minyak goreng.
“Dalam penelitian ini difokuskan pada dua sisi yakni apakah kenaikan ini disebabkan adanya kebijakan pemerintah atau terdapat perilaku antipersaingan oleh pelaku usaha. Bahwa sinyal-sinyal terkait kedua hal tersebut sudah ada kita lihat,” ujarnya.
Kemudian, Ukay menilai dari hasil penelitian, KPPU melihat bahwa terdapat konsentrasi pasar (CR4) sebesar 46,5% di pasar minyak goreng. Artinya hampir setengah pasar, dikendalikan oleh empat produsen minyak goreng.
“Pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng juga merupakan pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO hingga produsen minyak goreng,” ujarnya.
Ukay juga mendapati sebaran pabrik minyak goreng juga dilihat tidak merata. Dimana sebagian besar pabrik berada di pulau Jawa dan tidak berada di wilayah perkebunan kelapa sawit. Padahal ketergantungan pabrik minyak goreng akan pasokan CPO menjadi sangat besar.
“KPPU menilai kenaikan harga minyak goreng di berbagai wilayah sejalan dengan kenaikan permintaan dan naiknya harga CPO. Kenaikan tersebut dikarenakan tumbuhnya industri biodiesel, turunnya pajak ekspor di India dan naiknya permintaan dari luar negeri akibat kenaikan akibat kebutuhan akan bahan bakar,” jelasnya.
Apalagi, kata dia, posisi CPO sebagai komoditas global juga menyebabkan produsen minyak goreng sulit bersaing dengan pasar ekspor dalam hal mendapatkan bahan baku meskipun produsen minyak goreng masih satu kelompok usaha dengan pelaku usaha eksportir CPO.
Sementara, KPPU melihat kebijakan pemerintah yang ada saat ini belum mendorong adanya pertumbuhan industri minyak goreng dengan banyaknya aturan yang membatasi dan mengurangi persaingan usaha.
“KPPU pernah menyampaikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah terkait berbagai kebijakan yang mengurangi persaingan usaha di industri pada tahun 2007,” ungkapnya.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, KPPU menyarankan agar pemerintah mencabut regulasi yang menimbulkan hambatan masuk (entry barrier) pelaku usaha baru di industri minyak goreng, termasuk pelaku usaha lokal dan skala menengah kecil.
Semakin banyaknya pelaku usaha baru diharapkan akan mengurangi dominasi kelompok usaha yang berintegrasi secara vertikal.
Lebih lanjut, untuk menjamin pasokan CPO, KPPU menyarankan agar perlu didorong adanya kontrak antara produsen minyak goreng dengan CPO untuk menjamin harga dan pasokan.
“KPPU berharap harga pasar dapat berjalan sesuai hukum pasar dan tidak dipengaruhi adanya kartel atau kesepakatan akan tetapi hukum supply and demand dan berharap pemerintah mendorong pelaku usaha yang tidak terafiliasi. KPPU akan terus mendalami berbagai alat bukti atas permasalahan industri ini,” tegasnya. (sulaiman achmad)