“Mamak terlepas dari tangan saya. Saya raba-raba, tapi tidak ketemu lagi”
Malam itu, 20 tahun lalu. Tepatnya Kamis sebelum Minggu kelabu 26 Desember 2004, Nurwani, seorang ibu berusia 50 tahun, merasakan kegelisahan yang tak biasa.
Dalam rumahnya di Gampong Lamreh, Aceh Besar, ia bolak-balik tanpa tujuan, merasa tidak tenang. Kepada suaminya, Bustamam (alm.), ia mengeluhkan hatinya yang resah, tanpa tahu apa yang akan terjadi. Malam itu pula, ia bermimpi melihat air laut naik, menghabiskan kampungnya.
“Paginya saya menceritakan mimpi itu kepada mamak saya bernama Zainab. Mamak bilang, itu mimpi baik karena air itu dingin,” kenang Nurwani atau akrab disapa Bunda sembari menghapus air matanya.
Namun, firasat buruk terus menghantui. Hingga pagi, saat menjual dagangan di Pelabuhan Malahayati, mimpi itu masih membayang. Dia pun kembali menceritakan mimpi itu kepada pelanggannya.
Namun, seorang pelanggan bahkan menyebutnya sebagai pertanda bala besar. Keresahanpun semakin mencekam.
Setelah tiga hari mimpi itu berlalu dan aktivitas pun berjalan seperti biasa. Pagi Minggu itu dimulai dengan Bunda yang sibuk memasak dan membersihkan bawang hasil panennya.
Tiba-tiba, terdengar 3 kali suara ledakan dari arah laut. “Saya pikir itu bom, karena saat itu konflik Aceh sedang terjadi. Kebetulan di pelabuhan sedang banyak TNI yang hendak dipulangkan ke daerah masing-masing usai bertugas,” ujarnya.
Namun, ledakan demi ledakan diiringi gempa yang mengguncang dengan berkekuatan 9.3 skala richter membuatnya keluar rumah. Mamaknya yang sudah berusia lanjut keluar paling terakhir.
“Pas sampai di luar rumah dipeluknya saya. Habis itu, mamak bilang bahwa hari ini sudah kejadian seperti apa yang kamu mimpikan nak,” sebutnya.
Tak kuat berdiri karena begitu kuatnya guncangan, mereka semua duduk di tanah. Ketika guncangan berhenti, tiba-tiba teriakan menggema dari arah pelabuhan, “Air laut naik! Air laut naik!”.
Rumahnya yang tak begitu jauh dari pelabuhan membuatnya jelas mendengar teriakan tersebut. Dengan sigap, Bunda menyuruh keempat anaknya berlari ke Bukit Malahayati.
Ia sendiri bergegas menggendong ibunya yang sudah lanjut usia. Mereka juga ikut berlari ke arah yang sama. Sepanjang jalan, ia melihat mobil-mobil berlalu dengan kecepatan tinggi, sementara ia hanya berlari dengan kaki telanjang, melepas sandal agar lebih cepat.
“Ka piyoh neuk ka piyoh (berhenti nak berhenti),” kata orangtua Bunda, sambil memintanya untuk menghentikan perjalanan menuju ke Bukit.
Namun Bunda tak menghiraukan seruan itu dan terus berjalan perlahan sambil mengendong ibunya. Ia mendengar suara gemuruh seperti mesin pesawat dari arah belakang.
“Ketika baru berlari sekitar 30 meter, air sudah ada di depan kami. Lalu kami langsung digulung dari depan dan air itu seperti payung,” katanya.
Gelombang besar itu tidak datang dari belakang, melainkan dari depan, seperti tembok air yang kemudian pecah menelan segalanya. Ia dan ibunya digulung ombak ke pagar orang.
Dalam pelukan erat ibunya, Bunda hanya bisa beristigfar. Namun, kekuatan alam memisahkan mereka.
“Mamak terlepas dari tangan saya. Saya raba-raba, tapi tidak ketemu lagi,” sebutnya sambil mempraktikan saat dia mencari ibunya dalam genangan air.
Ia terseret hingga 20 meter sebelum akhirnya berpegangan pada sebatang pohon batok berukuran selengan orang dewasa.
“Alhamdulillah, pohon itu tidak patah meskipun kecil,” ujarnya lirih.
Sambil memeluk pohon, ia terus berdoa agar selamat dan memohon keselamatan bagi ibunya.
Ketika air surut seperti ditarik paksa, Bunda turun dari pohon kecil tersebut, saat itu airnya masih setinggi pinggang. Ia melihat kearah jalan air sudah mulai mengering. Dengan tubuh lemas, tanpa menghiraukan beberapa giginya yang patah terkena kayu, ia berjalan pulang.
Rumahnya yang berukuran 20×12 meter hancur, hanya tersisa separuhnya. Pohon kelapa menembus dinding rumah. Lumpur menggenang dan barang-barang berhamburan.
“Sampai di rumah saya cari jilbab, dapat sudah berlumpur, saya bersihkan kemudian saya ikat di kepala,” sebutnya sambil mengisahkan saat itu dia hanya tinggal baju dan celana pendek yang dipakainya. Selebihnya dibawa tsunami.
Di tengah kekacauan, tentara melepaskan tembakan peringatan, memberi tahu bahwa gelombang susulan datang. Bunda kembali berlari ke bukit, di jalan ia bertemu suaminya. Ia menangis, mencari anak-anaknya yang akhirnya ditemukan dalam keadaan selamat.
Malam harinya mereka bermalam di sebuah pondok petani dalam keadaan gelap gulita dan kelaparan. Gempa yang tidak begitu kuat, sepanjang malam terjadi dengan durasi beberapa detik.
Hari kedua setelah tsunami, jasad ibunya ditemukan oleh tetangga, tak jauh dari tempat mereka berpisah. Dengan hati hancur, ia membawa jenazah ibunya pulang untuk dimandikan dan dikafani.
Rumahnya yang kala itu tersisa separuh, dijadikan tempat sementara untuk menampung jenazah lain.
“Saya memandikan enam jenazah, termasuk ibu saya. Kain kafan yang saya terima dari anggota brimob cukup terbatas, tapi kami lakukan sebisa mungkin,” ujarnya.
Belum sampai disitu, terkendala lagi tidak ada yang menggali kubur. Hingga akhirnya dia bertemu dengan danton brimob dan menawarkan bantuan menggali kubur menggunakan alat berat (biko) di belakang rumah.
Bertahan di Tengah Trauma
Setelah kejadian yang memilukan itu, Bunda dan keluarganya mengungsi selama 30 hari di Bukit Malahayati. Selama itu, mereka hidup dari sisa makanan yang hanyut dan bantuan yang sesekali datang.
Air minum diambil dari sungai kecil, sementara emas 48 mayam dan bawang 5 ton yang dimilikinya hilang dibawa tsunami begitu saja.
“Kami jauh dari kamp pengungsi, jadi bantuan sulit sampai. Tapi alhamdulillah, sembako cukup ketika kami sudah mengungsi di bawah bukit,” katanya.
Sebulan kemudian bertepatan dengan kejadian kontak senjata, Bunda dan keluarganya turun mengungsi ke bawah makam malahayati. Itu bertepatan dengan meugang lebaran Idul Adha. Dan mereka melaksanakan tradisi meugang seadanya.
Selama setahun setengah, mereka tinggal di pengungsian, hingga akhirnya kembali ke rumah pada Maret 2006. Bunda mendapatkan bantuan berupa renovasi rumah, akan tetapi tidak semua tercover. Pintu dan jendela harus diganti dengan uang sendiri.
Meski sudah kembali dan rumahnya sudah direnovasi, luka batin tak semudah itu sembuh kembali.
“Tiga tahun saya tidak berani melihat laut. Setiap kali melihatnya, saya merasa seperti tenggelam lagi,” ujar Bunda.
Bahkan hingga kini, kenangan itu kerap menghantuinya. Meski dia cepat berdamai dengan masa kelam itu.
“Jangankan momen peringatan tsunami begini, kalau sendiri pun selalu ingat kejadian itu, kadang saya merasa semua itu hanya mimpi” sebutnya.
Harapan di Tengah Kehidupan Baru
Kini, dengan usia yang semakin senja, Bunda hanya berharap agar kejadian serupa tidak pernah terulang. Ia ingin anak cucunya dijauhkan dari bencana seperti yang ia alami.
“Saya ingat kedinginan, kelaparan, dan kegelapan saat itu. Semoga tidak ada lagi yang merasakannya,” ujarnya sambil berdoa.
Bagi Bunda, tsunami bukan hanya cerita tentang kehilangan, tapi juga tentang keteguhan, doa, dan harapan. Di tengah kehancuran, ia bangkit, berjualan kopi dan makanan ringan untuk kebutuhan keluarga.
Ia memilih melawan duka dengan keberanian, meski luka itu tetap membekas dalam.
Tsunami Aceh akan selalu menjadi bagian sejarah kelam bangsa, tetapi bagi Bunda, itu adalah kisah tentang bertahan hidup di tengah badai. (*)