Senin, Juli 7, 2025
spot_img
BerandaTulisan FeatureMenembus Batas Bahasa: Kisah Haji, Mahasiswa Tanzania di Aceh

Menembus Batas Bahasa: Kisah Haji, Mahasiswa Tanzania di Aceh

“Para pengajar bukan hanya mengajarkan bahasa, tetapi juga menjadi bagian dari perjalanan saya memahami Indonesia”

Datang dari Tanzania ke Banda Aceh mungkin terdengar tidak lazim. Namun bagi Haji Shaban Magilisa, mahasiswa program Darmasiswa di UIN Ar-Raniry, perjalanan ini menjadi salah satu bab paling berharga dalam hidupnya.

Selama hampir satu tahun tinggal di Aceh, ia tak hanya belajar Bahasa Indonesia, tetapi juga menyelami warna-warni budaya lokal yang sangat berbeda dari kampung halamannya.

Program Darmasiswa yang diikutinya merupakan hasil kolaborasi antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama Kementerian Luar Negeri RI.

Program ini memberikan beasiswa kepada warga negara asing dari negara-negara mitra diplomatik Indonesia untuk mempelajari bahasa, seni, dan budaya di berbagai perguruan tinggi di Tanah Air.

“Awalnya saya tidak mengerti apa pun. Orang-orang berbicara sangat cepat dan sulit dipahami, jadi saya sering merasa tersesat dalam percakapan,” kata Haji saat ditemui di lingkungan kampus, Rabu (11/6/2025).

Namun, berkat proses belajar yang intensif dan lingkungan sosial yang hangat, ia kini jauh lebih percaya diri. “Sekarang saya lebih nyaman berbicara dengan orang-orang di sini. Teman-teman sering mengajak ngobrol santai, jadi saya merasa makin dekat dan tak segan untuk ikut bercanda atau bercerita,” tuturnya.

Melalui program ini, Haji merasakan langsung kehidupan di Banda Aceh, kota yang dikenal dengan nilai-nilai religius dan kuatnya tradisi kekeluargaan. Ia mengaku belajar bahasa hanyalah satu bagian kecil dari petualangan besarnya.

“Para pengajar bukan hanya mengajarkan bahasa, tetapi juga menjadi bagian dari perjalanan saya memahami Indonesia,” ujarnya.

Haji menyebut para gurunya sebagai sosok yang hangat, sabar, dan penuh perhatian. Ruang kelas terasa seperti tempat berbagi cerita, bukan sekadar tempat belajar tata bahasa.

“Mereka membantu saya melihat sisi lain Aceh dan Indonesia bukan hanya dari bahasanya, tetapi juga dari cara berpikir, nilai-nilai, dan empati. Kami bahkan sesekali belajar Bahasa Aceh di kelas. Banyak orang senang saat saya menyapa dengan ‘peu haba’,” kisahnya antusias.

Meski demikian, tidak semua pengalaman berjalan mulus. Tantangan pertama yang ia hadapi adalah soal makanan lokal.

“Saya bukan orang yang tahan pedas,” katanya sambil tertawa. Namun, ia akhirnya menemukan menu favorit seperti nasi kuning ayam rendang dan nasi goreng di kawasan Darussalam.

Momentum bulan Ramadhan menjadi salah satu pengalaman yang paling membekas. Tradisi meugang hingga budaya silaturrahmi saat Idul Fitri, meninggalkan kesan mendalam.

“Di negara saya, kita harus mendapat undangan resmi untuk mengunjungi rumah orang lain. Tapi di sini, semua orang sangat terbuka. Saat Hari Raya, orang bebas saling berkunjung meski tanpa undangan. Itu mengejutkan sekaligus menyentuh,” ceritanya.

Pengalaman paling dramatis terjadi saat Haji mengalami cedera dan harus dirawat di rumah sakit. Ia mengaku banyak menerima bantuan, meski ada juga yang memandang karena penasaran. Beberapa bahkan mengira ia berasal dari Papua.

“Saya hanya tersenyum dan menjelaskan bahwa saya dari Tanzania,” katanya sambil tertawa.

Menjelang berakhirnya masa studi di Banda Aceh bulan ini, Haji bersiap kembali ke negaranya. Ia membawa pulang lebih dari sekadar kemampuan berbahasa—tetapi juga perspektif baru tentang persahabatan, keberagaman, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Keikutsertaannya dalam program Darmasiswa menjadi cermin peran strategis pendidikan sebagai sarana diplomasi budaya, serta mempererat hubungan antara Indonesia dan Tanzania melalui jalur akademik. (Nisrin)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER