Banda Aceh (Waspada Aceh) – Jam hampir menyentuh angka 00.00 pada Selasa (28/1/2025) malam. Detik-detik pergantian hari ini dinanti oleh masyarakat Tionghoa di Aceh, karena menandai awal Tahun Baru Imlek 2576, tahun Ular Kayu.
Di tengah malam yang lengang, Vihara Dharma Bakti di Jalan T. Panglima Polem, Kuta Alam, Kota Banda Aceh, mulai ramai dipadati masyarakat Tionghoa yang datang untuk beribadah.
Suara gong menggema, memecah keheningan malam. Aroma dupa yang khas menyeruak di udara, mengiringi umat Buddha yang bergantian membakar hio sambil melafalkan doa.
Vihara yang merupakan salah satu yang tertua di Aceh itu dihiasi lampion merah, patung naga, dan berbagai ornamen khas budaya Tionghoa.
Di dalam vihara, Jie (28), salah satu umat Buddha, tampak memindahkan lilin besar sambil memanjatkan doa. Sesekali, ia mengusap air mata yang berlinang di pipinya.
“Saya berharap tahun ini membawa keberuntungan dan kedamaian,” ujar Jie, warga Kuta Alam, Banda Aceh.
Meski berada di tengah lingkungan mayoritas Muslim, Jie mengaku tidak pernah merasa terasing. “Kami bersyukur bisa beribadah dengan tenang tanpa gangguan. Justru kami sering berbagi kebahagiaan, apalagi saat perayaan seperti ini,” tambahnya.
Meski berada di tengah kota yang menerapkan hukum syariat Islam, umat Buddha di Banda Aceh dapat menjalankan ibadah mereka tanpa gangguan.
Harmoni di Tengah Perbedaan
Yuswar, Ketua Yayasan Vihara Dharma Bakti sekaligus anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Aceh, menuturkan bahwa perayaan Imlek di Aceh selalu berlangsung damai.
“Aceh sangat toleran. Kami bisa menjalankan ibadah dengan tenang, meskipun di tengah malam. Bahkan, banyak warga Muslim yang ingin tahu dan melihat prosesi ini dari luar pagar. Tapi tidak pernah ada gangguan,” katanya.
Tahun ini, menurut kalender lunar, adalah Tahun Ular Kayu. Bagi Yuswar, shio ular melambangkan kelincahan dan gerakan cepat. “Kami berharap di tahun ini semua berjalan lebih baik.”
“Pemerintah, masyarakat, dan kita semua bisa bergerak cepat untuk maju, terutama di bawah pemerintahan baru Presiden Prabowo. Semoga kehidupan rakyat Indonesia semakin makmur dan aman,” ujarnya.
Yuswar juga menambahkan masyarakat Tionghoa di Aceh mayoritas beragama Buddha, meskipun ada juga yang beragama Kristen dan Islam.
“Tidak ada masalah hubungan antaragama. Kami saling mendukung dan menghormati. Bahkan, pada hari kesembilan Imlek nanti, kami akan menggelar jamuan makan malam dan acara kesenian yang terbuka untuk umum. Hidangan yang kami siapkan halal, agar tetangga Muslim bisa turut menikmati,” jelasnya.
Feri Fernando (30), seorang umat Buddha lainnya, mengaku nyaman hidup berdampingan dengan masyarakat Muslim di Banda Aceh. “Sejauh ini, kami bersahabat dan saling menghormati. Tidak pernah ada kendala, malah sering saling membantu dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.
Ada pemandangan menarik di luar pagar vihara. Beberapa warga Muslim tampak berdiri, mencari celah untuk melihat prosesi perayaan Imlek.
Rahma (28) salah satu dari mereka, bersama teman-temannya sibuk mengabadikan momen lewat ponsel.
“Saya memang tinggal dekat sini, setiap tahun sering lihat tradisi Imlek. Seru aja, apalagi jam segini suasananya beda,” ujar Rahma.
Rahma, yang tinggal di kawasan Peunayong Banda Aceh, menganggap perayaan Imlek bukan hanya sekadar tradisi agama lain, tetapi juga simbol persaudaraan yang terus terjaga di Aceh.
“Aceh itu penuh dengan keberagaman. Walau berbeda, kita tetap bisa hidup berdampingan dengan rukun,” tambahnya sambil memotret lampion yang bersinar terang di malam itu. (*)