Setiap sore, lapak Mak Leumang selalu ramai dikerumuni pelanggan yang ingin menikmati lemang buatannya.
Asap tipis mengepul dari deretan batang bambu yang dibakar di atas bara api. Di sebidang tanah di Gampong Lamdingin, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, aroma khas lemang ketan, ubi, hingga lemang ketan hitam menguap, mengundang selera.
Sabar dan Fitra, dua pekerja yang bertugas memanggang lemang, dengan cekatan memutar-mutar bambu agar ketan di dalamnya matang merata. Sudah sejak pukul 09.00 WIB mereka bekerja, memastikan bara api tetap stabil.
“Biasanya baru matang sekitar jam dua siang, lalu mulai dijual sore menjelang berbuka,” kata Fitra saat ditemui Selasa (12/3/2025).
Ramadhan menjadi musim panen bagi pedagang lemang. Hidangan khas ini selalu diburu pembeli sebagai pelengkap berbuka puasa.
Di dekat tempat pembakaran lemang, seorang perempuan paruh baya tampak sibuk mengaduk selai srikaya di atas kompor gas. Hafsah Abbas, (75) tahun, pemilik usaha Mak Leumang, sudah lebih dari dua dekade menjalankan bisnis ini.
“Saya mulai jualan di sini sejak tahun 2000, sebelum tsunami. Ini usaha turun-temurun dari keluarga di Pidie,” ujarnya.
Awalnya, Hafsah hanya menjual pisang goreng. Namun, melihat potensi besar lemang, ia mulai mencoba berjualan. Hanya dengan 10 bambu lemang pertama, dagangannya laris manis. Pesanan terus bertambah, bahkan orderannya hingga ke Pulau Jawa dan Malaysia.

“Lemang ini khas Pidie, tapi banyak yang pesan dari luar. Katanya, rasa lemang yang saya buat berbeda,” katanya.
Dalam sehari, Hafsah mengolah 50 kg beras ketan, bahkan lebih saat permintaan meningkat. Omzetnya bisa mencapai Rp8 juta hingga Rp10 juta per hari, meski saat hujan bisa turun ke Rp3,5 juta.

Harga lemang yang dijualnya bervariasi. Per porsi dibanderol Rp5.000 hingga Rp10.000, sementara lemang utuh dalam satu bambu dijual mulai Rp50 ribu hingga Rp100 ribu, tergantung ukurannya.
Usaha ini juga membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar. Saat ini, Hafsah mempekerjakan 10 orang, sebagian besar kerabatnya. Ibu dua anak ini bahkan melibatkan cucunya dalam usaha, ikut membantu mengelola bisnis keluarga yang sudah bertahan puluhan tahun.
“Kami jualan bukan hanya saat Ramadhan, tapi juga untuk acara besar seperti pesta, maulid, dan khitanan,” katanya.
Setiap sore, lapak Mak Leumang selalu ramai dikerumuni pelanggan yang ingin menikmati lemang buatannya. Ia bersyukur bisnisnya tak hanya bertahan, tetapi juga memberikan peluang kerja bagi banyak orang, termasuk keluarga sendiri
“Saya senang karena masih ada yang mau beli lemang. Padahal, ini makanan khas sejak zaman dahulu, tapi tetap ada yang suka. Buatan saya khas,” ucap Hafsah dengan senyum bangga.
Manisnya ketan yang berpadu dengan selai srikaya siap disantap sebagai menu berbuka puasa yang lezat dan mengenyangkan. (*)