Banda Aceh (Waspada Aceh) – Sepanjang tahun 2020-2021, aparat penegak hukum di Aceh menangani 19 perkara kasus perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi. Namun mafia perdagangannya sampai saat ini belum tersentuh hukum.
Koordinator FJL Aceh Zulkarnaini Masry menyampaikan hal itu dalam kegiatan meeting experts kajian data penegakan hukum dalam kasus perdagangan satwa lindung di Aceh, Jumat (21/01/2022), yang digelar Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh didukung oleh Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA).
Acara tersebut dihadiri perwakilan dari Kejaksaan Tinggi Aceh, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Forum Konservasi Leuser (FKL), Lembaga Suar Galang Keadilan (LSGK), Balai Penegakan Hukum (Gakkum) dan Conservation Respon Unit (CRU) Aceh. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh serta Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Infromation Centre (YOSL-OIC) juga hadir dalam kegiatan tersebut.
Hasil riset FJL, sepanjang 2020-2021 total pelaku perburuan dan perdagangan satwa yang berhasil diungkap sebanyak 42 orang. Para pelaku mayoritas warga Aceh, hanya sebagian kecil warga luar Aceh. Namun, pelaku yang ditangkap oleh aparat penegak hukum ini umumnya kurir dan eksekutor lapangan, sedangkan penampung akhir belum tersentuh.
“Padahal satwa lindung dari Aceh diperjualbelikan ke pasar internasional,” kata pria yang kerap disapa Zulmasry.
Zulmasry menambahkan, dari 19 perkara tersebut, masih ada 9 tersangka yang belum ditangkap atau menjadi buronan. FJL mendesak aparat penegak hukum segera menangkap mereka karena informasi dari pelaku penting untuk mengungkap kasus secara tuntas.
“Sebagian besar buronan adalah pemilik satwa, namun ada juga penampung dan eksekutor. Kami berharap para pemodal bisa ditangkap agar kasus kejahatan terhadap satwa dapat dihentikan,” kata Zulmasry.
Ditinjau dari besaran vonis, putusan paling tinggi 3,5 tahun penjara dalam kasus pembunuhan gajah di Aceh Timur. Sedangkan pembunuhan gajah di Pidie hanya dihukum 6 bulan penjara.
Zulmasry mengatakan, dalam kasus perdagangan paruh rangkong sebanyak 71 buah, pelaku hanya dihukum 1 tahun 3 bulan.
“Padahal jumlah satwa yang mati sangat banyak. Ini menunjukkan aparat penegak hukum belum punya semangat yang sama. Rata-rata vonis juga di bawah tuntutan jaksa,” kata Zulmasry.
Sedangkan jenis satwa lindung yang kerap diburu dan diperdagangkan di antaranya gajah, orangutan, harimau, siamang, beruang madu, rangkong, trenggiling. Sedangkan yang termasuk opsetan seperti kulit harimau, tulang belulang beruang madu, paruh rangkong, sisik trenggiling, tanduk kambing hutan, dan tanduk kijang.
“Penegakan hukum yang adil menjadi komitmen negara untuk menyelamatkan satwa lindung di Aceh,” kata Zulmasry.
Pengurus Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Teuku Muhammad Zulfikar menuturkan penegakan hukum harus terus berjalan, meski belum mampu menghentikan perdagangan.
“Sulit dihentikan karena aktor utama dan pembeli masih bebas (tidak ditahan),” kata Zulfikar.
Zulfikar mengatakan selain aparat penegak hukum, pemerintah dan elemen sipil harus berkolaborasi melindungi satwa. “Jangan sampai punah dan kita menyesal karena gagal melindungi,” kata Zulfikar. (Cut Nauval Dafistri)