Banda Aceh (Waspada Aceh) – Banyak masyarakat Aceh Besar mempertanyakan kinerja Tim Panitia Seleksi (Pansel) setelah meluluskan tiga nama anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Besar periode 2023-2028.
Salah satu organisasi yang menyayangkan adalah Pengurus Daerah Gerakan Pemuda Islam (PD-GPI) Kabupaten Aceh Besar. Pasalnya, kata Wakil Ketua Umum GPI Aceh Besar, Rezal Irwandi, tiga nama itu pernah dihukum oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP-RI) saat menjabat komisioner KIP Aceh Besar pada periode sebelumnya.
Mereka dihukum atas kelalaiannya dalam penyelenggaraan Pemilu legislatif tahun 2019. Akibat kelalaian itu, rekapitulasi suara Aceh Besar 2019 paling lama se-Indonesia terpaksa diambil alih oleh KIP Aceh.
“Pertanyaan sederhana kenapa tiga nama ini kembali dinyatakan lulus sebagai komisioner KIP oleh Pansel? Kepongahan selanjutnya adalah, bagaimana DPRK Aceh Besar menerima usulan tiga nama itu bahkan menyetujuinya? Ini terlihat sangat kontras,” ungkap Rezal Irwandi.
Menurutnya, hasil seleksi ini jelas mencederai etika demokrasi, dan melawan pranata demokrasi. Bagaimana mungkin komisoner KIP yang pernah dihukum karena kelalaian terhadap tugas dan tanggungjawab pada satu periode, kemudian kembali dinyatakan lulus sebagai komisioner KIP pada periode keduanya.
“Kinerja Pansel patut dipertanyakan, lebih lagi hasil seleksi itu telah diteruskan ke DPRK Aceh Besar. Menurut beberapa sumber, telah mendapat pesetujuan hingga disahkan,” katanya.
Menangapi hal itu, anggota Komisi I DPRK Aceh Besar, Yusran, kepada Waspadaaceh.com, Senin (10/7/2023) mengatakan, sebelum ditetapkan sebagai calon anggota KIP Aceh Besar, dalam proses perekrutananya sudah salah. Mulai pembentukan Pansel yang tertutup hingga rapat pleno penetapan anggota KIP Aceh Besar.
Dalam rapat komisi, kata Yusran, ketua dan wakil ketua beserta satu anggota komisi I DPRK menyarankan agar Pansel terbuka, namun empat anggota lainnya tidak setuju dan memilih tertutup.
“Waktu voting kami kalah, sehingga kami tidak terlibat lagi menjadi Pansel sampai pleno di komisi I,” sebutnya.
Intinya, kata Yusran, dalam penjaringan anggota KIP Aceh Besar komisi I sendiri terpecah. Sehingga yang menjaring nama-nama anggota KIP Aceh Besar adalah anggota DPRK dari empat partai, yaitu PKS Mursalin, dari Demokrat Zarwatun Niam, PDA Muslem M. Asyek dari PA Saifuddin.
Sementara Ketua Komis I, Zulfahmi dari Gerindra, Wakil Ketua Komisi I Muhibbudin (Ucok) dan Yusran (PAN) memilih tidak ikut dalam perekrutan. Setelah melakukan perekrutan, lanjut Yusran, tim Pansel selanjutnya membawa nama-nama yang dinyatakan lulus ke rapat paripurna dan dalam pleno itu, disahkan.
Dalam rapat pleno, mereka juga menilai keputusan ini tidak sah, karena dianggap melanggar PP No 12 tahun 2018 pasal 89 ayat 7. Dalam PP itu menjelaskan, rapat komisi harus dipimpin oleh ketua atau wakil ketua, sementara dalam pleno komisi I, dipimpin oleh Sekretaris Mursalin.
“Ini menabrak PP. Sehingga keputusan dalam pleno dianggap tidak sah,” sebutnya.
Yusran bersama Ketua dan Wakil Ketua Komisi I DPRK, tetap menolak rapat tersebut mengingat anggota KIP harus bersifat independen. Kendati demikian, rapat tetap dilangsungkan karena dianggap mencapai kuorum.
Namun dia menegaskan, sudah mencium proses pembentukan dan indepedensi Pansel dipertanyakan, sehingga ia memilih tidak terlibat.
Karena itu, kata Yusran, dia menyarankan agar proses perekrutan ini diluruskan sehingga tidak ada aturan yang dilanggar dalam penjaringan anggota KIP Aceh. (*)