Kamis, November 6, 2025
spot_img
BerandaOpiniLike Banyak, Gagasan Sedikit: Mahasiswa dan Krisis Pemikiran di Era Viral

Like Banyak, Gagasan Sedikit: Mahasiswa dan Krisis Pemikiran di Era Viral

Mahasiswa perlu kembali ke semangat aslinya: mencari kebenaran, bukan sekadar mencari perhatian.

Oleh: Lusiyati

Dunia kampus kini bukan hanya tentang nilai atau IPK tinggi, tetapi juga tentang eksistensi di dunia maya. Banyak mahasiswa yang lebih bersemangat membuat konten TikTok daripada mengerjakan riset tugas akhir.

Di satu sisi, teknologi memudahkan kita untuk belajar dan terhubung. Namun, di sisi lain, muncul gejala baru: mahasiswa semakin aktif di media sosial, tetapi semakin jarang berpikir mendalam.

Kita hidup di era viral, di mana kecepatan menjadi segalanya. Dahulu, mahasiswa dikenal karena gagasan-gagasannya. Sekarang, yang sering muncul di timeline justru mereka yang paling lucu, paling ramai, atau paling update.

Fenomena “like banyak, gagasan sedikit” ini bukan hanya tentang media sosial, tetapi juga tentang bagaimana budaya instan perlahan menggantikan budaya berpikir.

Budaya Viral, Gagasan yang Hilang

Dahulu, mahasiswa dikenal karena semangat berpikir kritis dan ide-ide segarnya. Sekarang, banyak yang takut berbeda karena khawatir tidak diterima. Pikiran kritis tergeser oleh keinginan untuk viral. Kita lebih cepat berkomentar daripada menganalisis, lebih cepat membagikan (share) daripada membaca tuntas.

Contohnya sangat nyata. Di kelas, saat dosen meminta pendapat, banyak yang diam. Namun, begitu di story atau komentar media sosial, opini langsung ramai—kadang tanpa dasar, hanya ikut arus. Padahal, berpikir kritis bukan soal siapa yang paling cepat bicara, tetapi siapa yang mau mencari tahu lebih dalam.

Mahasiswa di Persimpangan Digital

Teknologi seharusnya membantu kita belajar, bukan malah membuat kita malas berpikir. Sekarang, hampir semua tugas bisa diselesaikan lewat AI, semua opini bisa dicari di internet, dan semua jawaban bisa didapatkan dari mesin. Akibatnya, kita tahu banyak hal, tetapi hanya di permukaan.

Saya juga pernah merasakan hal itu. Kadang lebih mudah membuka ChatGPT atau mencari template tugas di internet daripada berpikir sendiri. Namun, dari situ saya sadar, proses berpikir itulah yang sebenarnya membuat kita paham. Jika semua serba otomatis, kita memang cepat selesai, tetapi tidak benar-benar belajar.

Kampus yang Sibuk, Pikiran yang Diam

Masalah ini bukan hanya pada mahasiswa, tetapi juga pada sistem kampus. Kita terlalu sibuk dengan tugas formalitas, tetapi lupa menumbuhkan rasa ingin tahu. Padahal, semangat berpikir bisa dimulai dari hal sederhana: membaca bukan karena disuruh, berdiskusi bukan karena nilai, dan menulis bukan karena deadline.

Mahasiswa seharusnya memiliki ciri khas berpikir kritis, terbuka, dan berani berbeda. Dunia digital memang cepat, tetapi bukan berarti kita harus ikut terburu-buru. Kadang, berpikir pelan justru membuat kita lebih paham.

Belajar Lagi untuk Berpikir

Di era viral ini, kita bisa punya banyak “like,” tetapi tanpa gagasan, semua itu hanya kosong. Kampus seharusnya bukan sekadar tempat mengumpulkan tugas, tetapi ruang untuk menyalakan ide dan nalar.

Mahasiswa perlu kembali ke semangat aslinya: mencari kebenaran, bukan sekadar mencari perhatian. Tidak masalah menggunakan teknologi, asalkan jangan biarkan teknologi yang berpikir untuk kita.

Mari kita mulai lagi belajar untuk berpikir, bukan hanya menggugurkan kewajiban. Karena generasi mahasiswa yang benar-benar berpengaruh bukanlah yang paling sering muncul di layar, tetapi yang mampu menyalakan gagasan dari pikirannya sendiri. (*)

  • Penulis adalah mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora, Prodi Ilmu Perpustakaan UIN Ar-Raniry Banda Aceh
BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER