Banda Aceh (Waspada Aceh) – Pansus Mineral dan Batu Bara serta Migas (Minerba) DPR Aceh menemukan dugaan penyimpangan dalam penerbitan izin usaha pertambangan (IUP).
Juru Bicara Pansus, Anwar Ramli, menilai pengawasan pemerintah lemah sehingga banyak perusahaan tidak patuh dokumen AMDAL.
“Monitoring dan evaluasi belum berjalan optimal. Ada dugaan konflik kepentingan dan persekongkolan dalam penerbitan izin baru,” kata Anwar saat menyampaikan Laporan Panitia Khusus (Pansus) Mineral dan Batu Bara serta Minyak dan Gas di Gedung Serba Guna DPR Aceh, Kamis (25/9/2025).
Pansus mencatat, hingga Juli 2025 terdapat 67 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diterbitkan.
Data ESDM Aceh terdapat 17 perusahaan dengan izin operasi produksi (khusus batubara dan emas) yaitu PT Juya Aceh Mining, PT Leuser Karya Tambang, PT Bumi Babahrot, KSU Tiga Manggis, PT Lhoong setia Mining, PT Samana Citra Agung, PT Mega Lanik Garuda Kencana, Koperasi Putra Putri Aceh, PT Mifa Bersaudara, PT Bara Energi Lestari, PT Agra Budi Jasa Bersama, PT Indonesia Pasifik Energi, PT Mega Multi Cemerlang, PT Prima Bara Mahadana, PT Nirmala KulNusantara, PT Energi Tambang Gemilang, dan PT Minang Sejati Utama.
Sementara dari jumlah itu, 9 perusahaan aktif menambang dan menjual hasil tambang yaitu PT Mifa Bersaudara, PT Bara Energi Lestari, PT Agra Budi Jasa Bersama, PT Indoensia Pasifik Energi, PT Jaya Aceh Mining, PT Leuser Karya Tambang, PT Bumi Babahrot, PT Samana Citra Agung dan KSU Tiga Manggis.
Terdapat satu perusahaan PT Lhoong Setia Mining sedang menyiapkan smelter, dan sisanya belum beroperasi penuh. Selain itu, ada 4 IUP yang diterbitkan langsung oleh pemerintah pusat melalui skema PMA.
Namun, mayoritas dari 51 perusahaan yang memiliki IUP sejak 2012–2025 tidak mematuhi ketentuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
“Hasil kajian tim Pansus DPR Aceh menemukan bukti kuat bahwa proses monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan pertambangan tidak rutin dilakukan oleh Dinas DLHK maupun ESDM Aceh, khususnya di bidang minerba. Hal ini menyebabkan munculnya sejumlah masalah, termasuk konflik dengan masyarakat,” jelasnya.
Lanjutnya, lemahnya monitoring dan evaluasi dinas terkait, khususnya Dinas ESDM dan DLHK, dinilai memperburuk kondisi lingkungan dan memicu konflik sosial di sejumlah daerah tambang.
Pansus meminta kepada Gubernur Aceh merotasi pejabat yang terindikasi bermasalah, memperketat pengawasan tambang, hingga menunda izin baru.
Pemerintah juga diminta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan migas dan minerba agar hasilnya lebih dirasakan masyarakat.
“Semoga hasil kerja Pansus ini menjadi bahan evaluasi dan tindak lanjut demi tercapainya pengelolaan sumber daya alam yang adil, transparan, dan bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat Aceh,” kata Anwar.
Sebelumnya, Ketua DPR Aceh, Zulfadhli, menyampaikan bahwa Pansus minerba dan migas dibentuk pada 13 Januari 2025 berdasarkan Keputusan DPR Aceh Nomor 1/DPR-A/2025. Laporan hasil kerja Pansus diterima pimpinan DPR Aceh melalui Surat Nomor 14/PMM/7-Romoy/2025 tertanggal 15 Juli 2025.
“Berdasarkan tata tertib DPR Aceh, Pansus wajib menyampaikan laporan sebelum akhir masa kerja dalam rapat paripurna. Hari ini Pansus telah menunaikan kewajiban tersebut,” ujar Zulfadhli. (*)