Dengan total empat ekor kambing, daging kurban didistribusikan langsung ke rumah-rumah penerima manfaat, yang seluruhnya berasal dari kelompok disabilitas.
Idul Adha 1446 Hijriah menjadi momen penuh makna bagi puluhan penyandang disabilitas di Banda Aceh. Tidak hanya menerima daging kurban, mereka juga menjadi bagian dari proses sosial yang inklusif dan memberdayakan.
Awalnya hanya gagasan sederhana dari dua pemuda penyandang disabilitas, Bayu Satria dan Zulfadli Aldiansyah alias Aldi. Bayu yang rutin berkurban berdiskusi dengan Aldi tentang cara membuat momentum Idul Adha tahun ini lebih bermakna.
Ide itu muncul setelah Aldi menerima seekor kambing dari pengikutnya di TikTok sebagai apresiasi atas konten positif yang ia bagikan. Mereka sepakat untuk menyumbangkan kambing itu bagi qurban khusus yang ditujukan langsung kepada teman-teman penyandang disabilitas di Banda Aceh.
Bayu dan Aldi lantas menggalang dukungan melalui media sosial dan jaringan pertemanan. Respons yang datang di luar dugaan. Dua kambing tambahan disumbangkan oleh donatur dari Jakarta dan Aceh Besar.
Dengan total empat ekor kambing, daging kurban didistribusikan langsung ke rumah-rumah penerima manfaat, yang seluruhnya berasal dari kelompok disabilitas.
Sebanyak 50 orang menerima daging kurban, terdiri atas penyandang disabilitas fisik, tuli, netra, intelektual, disabilitas ganda, serta beberapa pendamping dan keluarga.
Proses penyembelihan dilakukan langsung di peternakan, untuk menjamin kebersihan dan kenyamanan hewan kurban. Setelah itu, daging dibungkus dan diantarkan ke rumah masing-masing penerima.
Yang istimewa, proses distribusi daging turut melibatkan mitra pengemudi ojek online dari komunitas tuli. Hal ini menjadikan kegiatan tidak hanya bersifat amal, tetapi juga menciptakan ruang partisipasi ekonomi yang inklusif.
Bagi Bayu dan Aldi, gerakan ini bukan semata soal berbagi daging kurban, tetapi juga menyuarakan keadilan sosial dan pemberdayaan kelompok yang kerap terpinggirkan.
“Selama ini disabilitas selalu dianggap sebagai penerima manfaat saja. Saya dan Bang Aldi ingin menyampaikan pesan ke publik bahwa jika disabilitas diberi ruang, kepercayaan, dan dukungan, maka bukan hal mustahil bagi kami untuk juga bisa berkurban dan berbagi,” ujar Bayu.
Aldi menambahkan, kekuatan media sosial memainkan peran penting dalam memperluas jangkauan dan dukungan gerakan ini.
”Awalnya hanya kami berdua. Tapi ternyata ada orang baik dari berbagai daerah yang ikut menyumbang. Media sosial bisa jadi alat untuk menyebarkan semangat kolaborasi,” ujarnya.
Ruang untuk Bermakna
Rikal, salah satu pengemudi ojek dari komunitas tuli yang terlibat dalam distribusi daging, mengaku bangga bisa terlibat dalam kegiatan ini.
“Saya sebagai Tuli merasa senang bisa dilibatkan dalam kegiatan kurban untuk sesama disabilitas. Ini bukan hanya soal berbagi daging, tapi juga tentang rasa percaya, saling membantu, dan kebersamaan. Harapan saya, kegiatan seperti ini terus diadakan dan dikembangkan,” ujar Rikal.
Hal serupa disampaikan Masamah, penyandang disabilitas yang juga
guru anak-anak disabilitas. Ia menyambut dengan hangat kegiatan kurban ini karena beberapa anak didiknya juga ikut menerima manfaat.
”Idul Adha kali ini lebih bermakna. Anak-anak merasa diperhatikan. Ada kebahagiaan di wajah mereka ketika menerima daging kurban,” ucapnya.
Praktik Baik yang Bisa Direplikasi
Gerakan kecil ini menjadi bukti nyata bahwa nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan bisa berjalan beriringan dalam bentuk yang inklusif.
Menurut Bayu, kurban tidak lagi hanya soal ritual penyembelihan hewan, tapi juga menjadi simbol solidaritas, penghormatan martabat, dan pemberdayaan komunitas yang selama ini sering terlupakan.
Di tengah hiruk pikuk perayaan Idul Adha, Bayu dan Aldi mengingatkan, setiap orang, tanpa terkecuali, berhak merasakan kebermaknaan dan kebahagiaan. Dari satu kambing, tumbuhlah sebuah gerakan yang melampaui sekadar berbagi daging. Gerakan ini menyalakan harapan dan membuka ruang untuk inklusivitas dan keadilan sosial. (*)