Masyarakat Aceh berhak atas layanan listrik yang andal, transparan, dan akuntabel.
Pemadaman listrik yang melanda sebagian besar wilayah Aceh sejak Senin, 29 September 2025, bukan sekadar gangguan temporer. Ini adalah manifestasi dari masalah mendasar dalam pengelolaan layanan publik yang vital.
Lebih dari sekadar ketidaknyamanan, insiden berulang ini memicu kerugian ekonomi signifikan, mengganggu aktivitas penting, dan menimbulkan pertanyaan serius tentang transparansi serta akuntabilitas PT PLN (Persero).
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dian Rubianty, telah menegaskan potensi maladministrasi akibat pemadaman berkelanjutan ini. Dampaknya luas: kerusakan barang elektronik rumah tangga dan kelumpuhan sektor UMKM yang bergantung pada pasokan listrik.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mewajibkan PLN memenuhi maklumat layanan dan memberikan kompensasi jika gangguan melampaui batas toleransi. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah lemahnya manajemen komunikasi PLN.
Pengumuman resmi yang hanya menyebut “penguatan sistem interkoneksi” tanpa menjelaskan akar masalah—”trip di Pembangkit Nagan 3 dan 4″—menunjukkan kurangnya keterbukaan, menghambat mitigasi yang tepat oleh masyarakat.
Senada dengan Ombudsman, Ketua DPR Aceh, Zulfadhli, mengungkapkan kekecewaan atas pemadaman lebih dari 12 jam. Ia menuntut tanggung jawab penuh dan penjelasan transparan dari PLN.
Dampak pemadaman berkepanjangan sangat terasa: aktivitas perkantoran lumpuh, UMKM merugi, dan layanan kesehatan terganggu. Laporan kerusakan alat elektronik masyarakat juga meningkat.
Permintaan maaf saja tidak cukup; PLN harus memberikan solusi nyata, menyusun jadwal pemeliharaan terencana, menyosialisasikannya, dan memberikan kompensasi jika ada kelalaian. PLN juga harus memberi penjelasan atas terjadinya “blackout” yang berulang.
Memang pihak PLN UID Aceh telah mengerahkan 839 petugas untuk memulihkan pasokan listrik. Manajer Komunikasi dan TJSL PLN UID Aceh, Lukman Hakim, mengklaim lebih dari 60% sistem kelistrikan telah pulih dalam 24 jam setelah gangguan.
Permohonan maaf dan komitmen menjaga keandalan pasokan telah disampaikan. Namun, upaya pemulihan cepat ini tidak boleh menutupi masalah keandalan sistem dan transparansi komunikasi yang masih menjadi tantangan besar bagi PLN.
Krisis listrik di Aceh adalah panggilan serius bagi PLN untuk berbenah. Masyarakat Aceh berhak atas layanan listrik yang andal, transparan, dan akuntabel. PLN tidak bisa hanya mengandalkan permohonan maaf dan perbaikan reaktif. Investasi jangka panjang pada infrastruktur, peningkatan kapasitas manajemen risiko, serta komunikasi publik yang proaktif dan jujur sangat diperlukan.
Tanpa komitmen perbaikan fundamental, kekecewaan dan kerugian masyarakat Aceh akan terus berulang, dan kepercayaan publik terhadap penyedia layanan vital ini akan terkikis. (*)