Banda Aceh (Waspada Aceh) – Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP) mengecam Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang telah menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota Legislatif Pemilu 2024 tanpa memperhatikan ketentuan afirmasi perempuan.
MPKP menilai KPU telah melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengharuskan partai politik mengusung paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan dalam setiap daftar calon anggota legislatif.
Hal ini disampaikan dalam diskusi daring (zoom meeting) yang digelar oleh MPKP bertajuk “Merespon DCT Anggota Legislatif: Apa yang Harus Dilakukan?” pada Kamis (9/11/2023).
Diskusi ini menghadirkan sejumlah organisasi yang tergabung dalam MPKP, seperti International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI), dan lainnya.
Dalam diskusi tersebut, narasumber menyampaikan data dan analisis tentang keterwakilan perempuan di DCT Anggota Legislatif Pemilu 2024.
Dari 24 partai politik peserta Pemilu 2024, hanya ada satu partai yang memenuhi ambang batas 30 persen perempuan di semua 84 daerah pemilihan (dapil), yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Sementara itu, partai terbanyak yang tidak memenuhi ambang batas tersebut adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan 29 dapil, diikuti oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan 26 dapil.
“Ini nyata sekali daftar ini ditetapkan resmi oleh penyelenggara pemilu kita. Ini pelanggaran yang serius belum terjadi di pemilu kita sejak ada pengaturan afirmasi ini. Bicara data sungguh mengkawatirkan,” kata Direktur Eksekutif Netgrit, Hadar Nafis Gumay.
Hadar menilai bahwa KPU telah mengabaikan ketentuan hukum yang mengatur tentang keterwakilan perempuan dalam DCT Anggota Legislatif.
Pasal 245 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa partai politik wajib mengusung paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan dalam setiap daftar calon anggota legislatif.
Selain itu, Hadar juga mengingatkan bahwa keterwakilan perempuan di legislatif bukan hanya soal angka, tetapi juga soal keadilan dan demokrasi.
“Keterwakilan perempuan di legislatif adalah salah satu indikator kualitas demokrasi. Jika keterwakilan perempuan menurun, maka demokrasi kita akan terancam,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif INFID, Iwan Misthohizzaman. Iwan mengatakan bahwa keterwakilan perempuan di legislatif sangat penting untuk mewujudkan kebijakan negara yang berpihak pada perempuan.
“Berkurangnya keterwakilan perempuan di legislatif berpotensi menimbulkan ketimpangan gender yang jelas di luar harapan. Sehingga kebijakan negara menjadi tidak berpihak pada perempuan,” kata Iwan.
Iwan juga mengkhawatirkan bahwa potensi perempuan untuk dipilih menjadi anggota legislatif juga akan mengecil jika DCT tidak memenuhi ambang batas 30 persen.
“Saya khawatir presentasi caleg anggota DPR perempuan bisa jadi di angka di bawah 20 persen. Ini mengkhawatirkan sekali,” ucapnya. (*)