Senin, Maret 31, 2025
spot_img
BerandaAcehKonsolidasi Jaringan LSM Aceh Bahas Penanganan Pengungsi Rohingya

Konsolidasi Jaringan LSM Aceh Bahas Penanganan Pengungsi Rohingya

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemerintah, dan mitra terkait menggelar Workshop Konsolidasi Jaringan LSM Aceh Peduli Rohingya di Ayani Hotel, Banda Aceh, Kamis (20/3/2025).

Kegiatan ini bertujuan memperkuat koordinasi dan menyusun peta jalan advokasi bagi penanganan pengungsi Rohingya di Aceh.

Workshop ini difasilitasi oleh Direktur Flower Aceh, Riswati, dan Koordinator Kontras Aceh, Azharul Husna. Mereka menekankan pentingnya kerja kolaboratif dalam menghadapi berbagai tantangan.

“Masyarakat sipil memiliki peran besar dalam mengawal isu ini, terutama dalam membangun pemahaman publik dan memastikan kebijakan yang berpihak pada kemanusiaan,” ujar Riswati.

Azharul Husna menambahkan bahwa salah satu tantangan utama adalah membangun strategi jangka panjang dalam menangani pengungsi.

“Kita perlu menyusun peta jalan advokasi yang jelas dan memastikan peran seimbang antara pemerintah dan masyarakat sipil,” katanya.

Sementara itu, Direktur Program Yayasan Penabuluh, Hesti, menekankan bahwa meskipun Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi, tetap ada tanggung jawab moral dalam menangani pengungsi.

“Pendekatan berbasis gender, kolaborasi multi-pihak, serta dukungan global sangat penting untuk memperkuat hak-hak pengungsi,” katanya.

Minim Fasilitas dan Stigma Masyarakat

Protection Associate UNHCR Indonesia, Faisal Rahman, melaporkan bahwa jumlah pengungsi Rohingya di Aceh saat ini mencapai 532 orang, dengan jumlah terbesar di Aceh Timur. Dari total itu, 218 orang adalah anak-anak usia sekolah.

“Kami terus melakukan advokasi agar para pengungsi bisa tertangani dengan baik selama di Aceh termasuk penyediaan akses pendidikan bagi anak usia sekolah,” ujar Faisal.

Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DP3A Aceh, Tiara Sutari AR, mengatakan bahwa pihaknya tetap berupaya mendukung pemenuhan hak perempuan dan anak di camp pengungsian. Namun, keterbatasan anggaran membuat pendampingan tidak bisa dilakukan secara penuh.

“Kami siap memberikan bantuan jika ada korban kekerasan di camp, meskipun akses kami terbatas,” katanya.

Project Koordinator Jesuit Refugee Service (JRS), Hendra Saputra, menekankan bahwa, tak bisa dipungkiri bahwa Aceh akan terus menjadi pintu masuk utama bagi pengungsi Rohingya, sehingga perlu kebijakan yang lebih matang dan persiapan yang lebih baik.

Ia juga menyoroti perubahan persepsi masyarakat terhadap pengungsi yang dipengaruhi oleh kebijakan, narasi media, serta ketidakseimbangan dalam penegakan hukum.

“Pandangan masyarakat terhadap pengungsi tidak terbentuk begitu saja, tetapi dipengaruhi oleh kebijakan yang diterapkan dan bagaimana media membingkai isu ini. Regulasi yang ada harus diterapkan secara adil agar pengungsi yang menjadi korban mendapatkan perlindungan hukum yang layak,” ujarnya.

Menurut Rozhatul Valica, Divisi Advokasi Kontras Aceh, kecemburuan sosial menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi stigma negatif terhadap pengungsi.

“Banyak masyarakat tidak mengetahui bahwa bantuan yang diterima pengungsi berasal dari organisasi internasional, bukan dari anggaran pemerintah,” ujarnya.

Kontras terus melakukan advokasi regulasi dan edukasi publik untuk menghapus stigma ini, terutama melalui diskusi dengan pemuda.

Gebrina Rezeki, Kepala Sekolah HAM Perempuan Flower Aceh, mengatakan bahwa kekerasan dan pelecehan seksual harus mendapat perhatian khusus di site, terutama bagi anak-anak.

Ia menambahkan bahwa Referral System terkait GBV yang disusun oleh Flower Aceh, JRS, dan berbagai organisasi lain dapat menjadi rujukan dalam penanganan serta pencegahan GBV.

Sebagai tindak lanjut, peserta workshop menyepakati beberapa langkah strategis, antara lain:

• Meningkatkan koordinasi antara LSM, pemerintah, dan komunitas lokal.

• Menyediakan safe house atau tempat penampungan sementara yang layak.

• Mengubah narasi publik agar lebih berpihak pada kemanusiaan dengan melibatkan media dan tokoh agama.

• Memastikan keterlibatan pengungsi dalam upaya pemenuhan hak mereka, termasuk pendidikan dan pelatihan keterampilan.

Workshop ini diakhiri dengan komitmen untuk mengadakan pertemuan rutin, guna memperkuat advokasi dan implementasi kebijakan terkait pengungsi Rohingya di Aceh. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER