Di usianya yang senja, ia masih harus bolak-balik ke Rumah Sakit Umum Zainal Abidin untuk mengobati sesak napas yang dideritanya.
Di usia senjanya, Ramli Ahmad (77), warga Desa Pante Labu, Kecamatan Pante Bidari, Aceh Timur, masih bergulat dengan bayang-bayang konflik bersenjata Aceh.
Setelah 19 tahun perdamaian diteken, ia tetap hidup dalam keterbatasan, tanpa perlindungan maupun pengakuan atas statusnya sebagai korban konflik.
Senin (16/12/2024) pagi, Ramli tiba di kantor Waspada di Banda Aceh, dengan becak kayu. Istrinya terbaring lemas di dalam becak, sementara anaknya, Zainal Abidin yang berusia 12 tahun, mengendarai becak itu untuk membawa ayah dan ibunya.
Kehadiran Ramli dan keluarganya pagi itu membawa satu harapan kecil, perhatian dari pihak-pihak yang selama ini ia datangi untuk memperjuangkan haknya.
“Saya hanya ingin diakui sebagai korban konflik. Sampai sekarang, tidak ada tindak lanjut dari semua tempat yang saya datangi,” ujarnya sambil memperlihatkan berbagai dokumen atau bukti.
Wajahnya yang penuh gurat keriput dan tirus, rambut yang telah memutih, serta tubuhnya yang kurus dan sedikit membungkuk, dengan tangan yang lemah.
Ramli memegang secarik kertas berisi artikel lama tentang dirinya yang pernah dipublikasikan di media, berjudul “Korban Konflik Harapkan Bantuan”. Artikel tersebut memuat fotonya dalam keadaan lumpuh setelah mengalami penganiayaan. Meski pernah menjadi perhatian media, hingga kini, Ramli merasa bahwa keadilan tetap jauh darinya.
Selama bertahun-tahun, Ramli sudah mengadu ke berbagai instansi, mulai dari Komnas HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), hingga Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Namun, semua usahanya berakhir dengan kekecewaan.
“Tidak ada satu pun yang benar-benar mendengarkan,” keluhnya.
Luka yang Tak Pernah Pulih
Konflik bersenjata Aceh meninggalkan bekas mendalam, baik secara fisik maupun mental, pada tubuh dan kehidupan Ramli. Dalam kenangannya, operasi militer saat itu berlangsung penuh kekejaman.
“Saya pernah lumpuh akibat dipukuli. Setiap orang yang ditangkap, hampir pasti tidak pulang dengan selamat,” kisahnya.
Ramli menunjukkan bekas luka di tubuhnya, bukti nyata dari kekerasan yang ia alami. Kaki kirinya tidak bisa ditekuk lagi akibat penyiksaan berat. Ia menceritakan bagaimana dirinya dipukuli dengan kayu dan senjata hingga hampir kehilangan nyawa.
“Gigi saya dihancurkan, kepala saya disepak. Saya ditahan sembilan bulan di Medan. Hanya untuk membuktikan bahwa saya bukan anggota GAM,” ujarnya dengan nada getir.
Akibat penangkapan tersebut, Ramli terpaksa meninggalkan keluarganya. Istrinya harus berjuang sendiri menghidupi anak-anak mereka. Dulunya, Ramli adalah seorang petani yang menanam palawija, jagung, dan sayuran lainnya. Namun, setelah diusir dari kampung halamannya pada tahun 2005 sejak saat itu, kehidupannya berubah total. Kini tinggal di Lampineng, Gampong Pineng, Banda Aceh.
Meski sudah hampir dua dekade damai, Ramli masih bergantung pada pekerjaan sebagai pemulung, mengumpulkan botol dan kardus bekas dari jalanan untuk menghidupi keluarganya.
Tidak ada bantuan sosial yang ia terima, dan anak-anaknya pun tak dapat melanjutkan pendidikan karena keterbatasan biaya. Putra bungsunya, Zainal, sempat mengaji di Pesantren Nurul Huda, namun kini harus berhenti karena kekurangan dana.
Di usianya yang senja, ia masih harus bolak-balik ke Rumah Sakit Umum Zainal Abidin untuk mengobati sesak napas yang dideritanya. Ia mengandalkan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) untuk membiayai pengobatannya.
“Tidak ada bantuan sosial apa pun untuk saya,” ucapnya.
Anaknya, yang dulu sempat bersekolah, kini putus sekolah akibat keterbatasan biaya. Zainal hanya mengaji di Pesantren Nurul Huda, namun kini tidak lagi melanjutkan karena tidak ada dana.
“Sekarang anak saya ikut menemani saya bekerja sebagai pemulung dan mengendarai becak,” ujarnya.
Program reintegrasi yang digagas Pemerintah Aceh untuk korban konflik, menurut Ramli, tidak pernah menyentuh hidupnya. “Saya bahkan tidak pernah mendapat kompensasi atau bantuan apa pun dari BRA,” katanya.
“Waktu Presiden Jokowi ke sini, saya ingin bertemu, tapi tidak bisa karena saya sedang dirawat di rumah sakit,” tuturnya.
Damai yang Tak Menyeluruh
Bagi Ramli, perdamaian yang diimpikan masyarakat Aceh masih jauh dari sempurna. Meski konflik fisik sudah usai, ia merasa keadilan dan kesejahteraan bagi korban konflik masih terabaikan.
Tidak ada pemulihan trauma, tidak ada akses pendidikan untuk anak-anaknya, dan tidak ada pengakuan atas penderitaan yang ia alami.
“Saya sudah tua. Saya hanya ingin anak-anak saya bisa sekolah, bisa hidup lebih baik. Tapi sampai sekarang, semuanya terasa sia-sia,” ucap Ramli, sambil memandang lelah ke arah anak bungsunya yang masih mengayuh becak.
Meskipun Aceh telah menyatakan damai, namun banyak korban yang masih merasakan kesulitan, baik dalam segi pemulihan trauma maupun kesejahteraan hidup.(*)