Kisahnya bermula tiga tahun lalu (tahun 2022), saat Miah jogging pagi di Tanjungmorawa, tiba-tiba seorang nenek tua menghampiri dan menawarkan bibit mangga.
Di ujung Lorong 3, Desa Limau Manis, Tanjung Morawa, Deliserdang, berdiri sebuah rumah permanen yang tampak sederhana. Halamannya cukup luas, muat dua mobil jika diparkir berdekatan.
Di lorong tersebut, sepertinya rumah ini yang tampak lebih luas, baik bangunannya maupun halaman depannya. Jadi sedikit lebih mencolok.
Tak ada yang istimewa dari tampilan depannya. Sepi. Tak terlihat tanda-tanda pohon buah, apalagi pohon mangga raksasa. Hanya ada satu unit mobil Toyota terparkir di garasi.
Sabtu siang, 14 Juni 2025, penulis menyambangi rumah itu. Butuh dua kali bertanya ke warga sekitar untuk memastikan: inilah kediaman Salmiah Wijaya, atau akrab disapa Miah.
Miah teman sekampung penulis, yakni dari Ledong Barat, Asahan. Setelah beberapa kali mengundang, akhirnya penulis berkesempatan melihat langsung mangga miliknya yang konon bisa mencapai dua hingga tiga kilogram per buah.
Pintu diketuk, Miah menyambut dengan senyum ramah. Perempuan 53 tahun itu mempersilakan masuk ke rumah bersih dan lapang. Sunyi, karena kedua anaknya tinggal di Surabaya. Miah di rumah bersama ibundanya.
Di ruang tamu, empat kursi Jepara tersusun rapi. Ia duduk membelakangi foto keluarga—suami dan dua anaknya—dan mulai bercerita.
Miah membeli rumah itu sejak 1995, saat kawasan sekitar masih dikelilingi kebun sawit. “Dulu kalau malam lewat sini serem,” kenangnya.
Ia juga mengaku sempat berpindah-pindah mengikuti suaminya bekerja, hampir di seluruh pulau Jawa hingga Kalimantan.
Namun di sela obrolan, satu pertanyaan masih menggantung: di mana pohon mangga jumbo itu?
Barulah setelah menyusuri bagian belakang rumah, teka-teki itu terjawab. Di sana, berdiri tegak sebatang pohon mangga yang menjulang setinggi tiga meter, dengan batang sebesar betis orang dewasa.
Di antara rimbun daunnya, bergelantungan mangga-mangga raksasa seukuran pepaya. Baru kali ini penulis melihat langsung mangga sebesar itu di pohonnya.

Kisahnya bermula tiga tahun lalu (tahun 2022), saat Miah jogging pagi di Tanjungmorawa. Kala itu tiba-tiba seorang nenek tua menghampirinya dan menawarkan bibit mangga.
“Saya bilang, nggak usah, Nek. Buat apa sih nek mangga,” cerita Miah. Tapi sang nenek bersikeras. Dengan wajah memelas, ia terus membujuk. Tak tega, Miah akhirnya luluh. Membeli bibit mangga itu.
“Anak nggak akan menyesal beli bibit mangga ini,” kata sang nenek, seolah tahu apa yang akan terjadi nantinya.
Bibit itu ditanam Miah di belakang rumah. Dua tahun kemudian, pohon itu mulai berbuah—dan ternyata bukan mangga biasa. Ukurannya membesar jauh dari wajar. Tidak seperti mangga kebanyakan.
Saat penulis diajak melihat langsung, sedikitnya ada 10 buah menggantung di cabang-cabangnya. Dua di antaranya dipetik dan ditimbang: masing-masing berbobot 2,1 kilogram.
“Waktu pertama berbuah saya kaget. Kok makin lama makin besar. Saya pikir ini mangga jenis apa,” ucap Miah sambil tertawa.
Soal rasa, jangan tanya. “Manis banget, hampir nggak ada seratnya,” katanya yakin.
Kini, pohon itu sudah tiga kali berbuah. Miah kerap membagikan hasil panennya kepada tetangga. Ia sendiri belum tahu pasti jenis mangga itu.
“Ada yang bilang Mangga Mahathir, ada juga yang bilang Kiojay,” ujarnya.
Namun bagi Miah, lebih dari hanya varietas, pohon mangga itu adalah berkah yang datang dari pertemuan singkat—dengan seorang nenek misterius di tepi jalan. Sejak pertemuannya itu, Miah tak pernah lagi melihat nenek tersebut.
Bibit yang awalnya dibeli karena kasihan, ternyata menumbuhkan kisah yang tak biasa, di rumah sosok Miah yang selalu menebar seyum ramah itu. (*)