Rabu, Desember 10, 2025
spot_img
BerandaAcehKisah Kelaparan Korban Bencana di Dataran Tinggi Gayo

Kisah Kelaparan Korban Bencana di Dataran Tinggi Gayo

Setiap langkah mereka adalah perjuangan melawan kelelahan dan kelaparan, setiap detik adalah pertaruhan nyawa yang mereka lakukan untuk menyelamatkan keluarga.

Di puncak dataran tinggi yang dulu dipuja sebagai “Negeri di Atas Awan” – tempat udara segar memeluk ladang kopi subur dan cerita rakyat mengalir seiring aliran sungai – kini hanya tersisa kegelapan yang mengiris hati.

Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues: tiga nama yang dulu menyimbolkan keindahan alam dan kekayaan budaya, kini berubah menjadi daerah paling tertekan di Indonesia setelah longsor dan banjir bandang menyambar tanpa peringatan. Beberapa daerah di negeri ini terkurung dari dunia luar, seperti pulau terasing di tengah lautan lumpur dan kesedihan.

Kengerian yang paling mendalam bukan hanya dari reruntuhan bangunan atau kehilangan harta benda, melainkan dari kehilangan harapan yang tergambar di setiap langkah warga. Mereka berjalan dan beraktivitas dalam kegelapan – listrik tak menyala berhari-hari.

Sampai hari ini, tidak satu pun jalan darat yang bisa diakses: jembatan hancur, jalan raya tertutup longsor raksasa, dan setiap pintu keluar terpadam lumpur tebal. Akses udara terlalu mahal dan sulit dijangkau, sehingga hanya sedikit orang yang beruntung bisa keluar atau menerima bantuan.

Hasilnya, masyarakat mengalami kepanikan luar biasa. Semua kota, kecamatan, dan desa terkurung tanpa jalan keluar, membuat mereka kebingungan: bagaimana melanjutkan hidup di tengah kegelapan yang tak ada ujungnya? Anak-anak dan ibu-ibu menjadi korban paling rentan – berdiri di ambang kelaparan, mata kosong tanpa cahaya harapan, perut menggeram karena kekurangan makanan.


Sejak awal kajadian, masyarakat tidak bisa beraktivitas sama sekali: tidak ada BBM untuk kendaraan, tidak ada bahan makanan untuk memasak, dan tidak ada cara keluar dari daerah terkurung. Bantuan pertama – beras sedikit per KK – baru tiba dua minggu setelah bencana, terlalu lambat dan terlalu sedikit untuk ratusan keluarga yang kelaparan.

“Kami hanya dikasih beras beberapa bagian per KK itu pun baru dapat dua minggu setelah bencana,” ujar Elvi, warga Pondok Baru, Bener Meriah, dengan suara serak dan penuh kesedihan.

Setiap butir beras bagi mereka seperti permata mahal, digenggam hati-hati, dibagikan sampai habis, sambil berdoa bantuan lain tiba sebelum kelaparan memakan nyawa.

Sementara itu, di Takengon – ibu kota Aceh Tengah – cerita kesedihan lebih dramatis. Ana, seorang warga Takengon, menceritakan dengan nada pasrah bagaimana kota yang dulu ramai kini hancur akibat hantaman kayu gelondong dari bukit.

“Kami tidak tahu kayu ini dari mana – tiba-tiba saja, seperti hujan batu dari langit, mereka menghancurkan segala yang ada,” katanya, sambil menatap reruntuhan rumahnya yang ditutupi kayu raksasa.

Kota yang dulu pusat perdagangan dan budaya di dataran tinggi Gayo kini hanya tersisa puing-puing yang mengingatkan kekerasan alam yang tak terduga. Trauma dari kejadian itu masih menyakitkan setiap hari – warga sering terbangun dari mimpi buruk, melihat kayu gelondong yang menghantam rumah dan mendengar teriakan kesakitan yang tak pernah hilang dari ingatan.

Namun, yang paling menyedihkan bukan hanya kehilangan rumah atau trauma, melainkan perjuangan warga yang terpaksa berjalan puluhan kilometer hanya untuk mendapatkan beras dan sembako. Dari Bener Meriah ke Lhoksemawe – jalan yang dianggap paling dekat – mereka berjalan kaki berhari-hari, melewati jalan licin dan berbahaya, tanpa makanan dan minuman cukup.

Jalan lain melalui Bireuen lebih jauh lagi – lebih dari 100 kilometer – sehingga menjadi pilihan terakhir yang tak tercapai. Setiap langkah mereka adalah perjuangan melawan kelelahan dan kelaparan, setiap detik adalah pertaruhan nyawa untuk menyelamatkan keluarga.

Roman, petani kopi Gayo yang telah merawat kebunnya selama dua dekade, berdiri di tengah ladang kopi yang sudah siap panen dengan wajah penuh kebingungan.

“Kami bingung hasil panen kami mau kami bawa kemana,” katanya, sambil menyentuh daun kopi yang seharusnya menjadi uang untuk makanan dan sekolah anak-anak.

“Kopi kami bakal mengendap di gudang dan tak ada pengiriman – begitu juga tanaman sayuran yang sudah masak: kentang, kol, cabai, dan palawija lainnya. Semua akan busuk, hilang tanpa manfaat, seperti harapan kami yang hancur.”

Harapan terakhir yang tersisa adalah permintaan sederhana namun seolah tidak mungkin tercapai: tolong benahi akses ke dataran tinggi Gayo segera. Kalau tidak, masa depan mereka – generasi mendatang yang seharusnya membawa nama Gayo ke ketinggian baru – akan hancur sebelum sempat terwujud.

Trauma dari musibah ini sudah cukup menyakitkan, tapi kehilangan masa depan yang cerah adalah luka yang lebih dalam, yang tak akan pernah sembuh. Mereka tidak hanya meminta jalan darat yang terhubung ke dunia luar, melainkan harapan yang bisa menggerakkan langkah mereka kembali, cahaya yang bisa menerangi kegelapan yang menyelimuti negeri mereka.

Negeri di Atas Awan yang dulu indah kini hanya tersisa sebagai tanda kelemahan manusia di hadapan alam dan kebingungan ketika akses – hak dasar yang seharusnya ada – hilang tanpa jejak. Setiap harapan yang terbangun, setiap doa yang terucap, adalah lantunan hati yang meminta perhatian dunia: tolong jangan biarkan mereka terkurung dalam kesedihan dan kelaparan.

Tolong benahi akses mereka, sehingga mereka bisa beraktivitas kembali, sehingga generasi mendatang bisa melihat lagi keindahan negeri yang dulu dipuja sebagai surga di atas bumi. Sebab tanpa akses, negeri di atas awan ini hanyalah sarang kesedihan yang tak ada ujungnya – tempat di mana harapan mati sebelum sempat terwujud. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER