Jakarta (Waspada Aceh) – Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (DK PWI) Pusat, Ilham Bintang, mengatakan, terkait tayangan wawancara kursi kosong di Mata Najwa dalam program news TV, sumber hukumnya jelas yakni UU Pers (UU No 40 tahun 1999).
“Najwa itu wartawan; sedangkan Mata Najwa adalah program news TV. Sumber hukumnya adalah UU Pers, bukan UU Penyiaran. UU Penyiaran sendiri mengakui bahwa dalam konteks program berita atau news itu menjadi domain dari UU Pers,” kata Ilham Bintang, dalam dialog antar wartawan di grup WhatsApp PWI Pusat, Rabu (7/10/2020).
Kata Ilham, polisi menolak pengaduan pelapor Najwa, terkait tayangan monolog (wawancara kursi kosong), dan menyarankan pelapor ke Dewan Pers, karena memang demikian aturannya. Dewan Pers lah alamat yang tepat untuk menilai sengketa berita, ujarnya.
“Sayangnya, Menkes sendiri belum pernah saya dengar keberatan terhadap Mata Najwa. Yang banyak mengadukan Najwa adalah pihak lain,” lanjut wartawan senior ini.
Menurut Ilham, karya jurnalistik adalah karya yang terukur. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) adalah parameter untuk menilai apakah Najwa melakukan pelanggaran pasal-pasal dalam KEJ, lanjutnya.
“Tanpa diminta, saya sudah memeriksa. Sebatas pengetahuan saya, tidak ada pelanggaran kode etik dalam program itu. Yang banyak dipakai orang untuk menilai Najwa, kebanyakan karena semata ketidak sukaan lantaran memandang Najwa arogan. Itu sah saja,” tegas Ilham.
Baca: Najwa Shihab Dilaporkan ke Polisi, Marah Sakti: Tak Langgar Kode Etik
Jurnalisme, kata Ilham, sebenarnya ilmu yang terus berkembang, termasuk platformnya. “Mungkin kursi kosong adalah hal yang baru buat kebanyakan kita, tapi itu bukan kejahatan. Mungkin itulah terobosan yang ditawarkan media baru.”
“Sumber tentu saja punya hak. Tetapi sumber pejabat publik hanya memiliki sedikit hak untuk menghindar dari kewajiban memberikan penjelasan. Dia sudah mendapat gaji, fasilitas, sumber daya, dan anggaran dari uang rakyat untuk melaksanakan amanat di pundaknya. Dalam konteks bencana kesehatan, jelaslah sumber yang paling kompeten adalah Menkes,” kata Ilham menambahkan.
Namun, kata Ketua Dewan Kerhormatan PWI Pusat ini, dia pula yang berbulan-bulan bersembunyi. Sementara pandemi ini sudah merenggut puluhan ribu nyawa, ratusan ribu tertular. Wartawan mana pun, sesuai prinsip kerja jurnalistik, pasti menjadikan Menkes Terawan sebagai target untuk diwawancarai, terangnya.
“Baca pada KEJ, wartawan dimungkinkan menempuh cara tertentu demi kepentingan publik. Najwa tidak memaksa. Tapi dia menciptakan terobosan untuk tetap menyampaikan aspirasi publik lewat pertanyaan-pertanyaan kepada kursi kosong,” tegas Ilham lagi.
Meski Menkes mengirim Dirjen, kata Ilham, tapi urusan pandemi bukan teknis belaka. “Kita juga seringkali melakukan hal sama. Misalnya, tidak hadir ke sebuah acara karena yang bicara hanya humas, bukan pengambil keputusan di suatu instansi,” kata Ilham mengakhiri pandangannya.
Pernyataan Ilham Bintang itu terkait kasus pelaporan Najwa Shihab ke Polda Metro Jaya oleh Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu Silvia Devi Soembarto. Silvia menilai aksi Najwa Shihab dalam wawancara kursi kosong yang disiarkan salah satu televisi nasional itu dinilai sebagai tindakan cyber bullying.
Namun laporan Silvia ditolak polisi. Polda Metro Jaya mengarahkan Silvia untuk melapor ke Dewan Pers. Alasannya, Nana, panggilan akrab Najwa Shihab, adalah seorang jurnalis, dan pekerjaannya dilindungi oleh UU Pers. (Ris)