Sabtu, September 13, 2025
spot_img
BerandaEkonomiKetika Perempuan Lhoknga Bangkitkan Gerakan Iklim Lewat UMKM Ramah Lingkungan

Ketika Perempuan Lhoknga Bangkitkan Gerakan Iklim Lewat UMKM Ramah Lingkungan

“Kampanye kolaboratif ‘We Can’ menjadi ruang aksi perempuan dari 28 gampong di Aceh Besar memperkenalkan produk daur ulang, eco-enzym, hingga gerakan edukasi iklim dari akar rumput”

Aroma penganan tradisional tercium dari stan-stan sederhana yang berjajar di halaman Kantor Camat Lhoknga, Senin pagi (28/7/2025).

Puluhan perempuan dari 28 gampong di Kec Lhoknga, Aceh Besar tampak semarak, memamerkan hasil olahan desa mulai dari kue-kue khas yang dibungkus daun pisang, kerajinan dari sampah daur ulang, hingga produk eco-enzym dalam botol bekas yang tertata rapi.

Tak hanya itu, lembaran kain bermotif eco-print dan sabun cuci piring alami bernama “Gleh Pingan” turut ditampilkan.

Semuanya hasil tangan para ibu-ibu diKkecamatan Lhoknga, Aceh Besar dalam menjaga bumi dari dapur sendiri.

Suasana itu menjadi bagian dari kampanye kolaboratif “We Can: Kita Bisa Menanggulangi Perubahan Iklim”, yang diinisiasi Yayasan Keadilan dan Perdamaian Indonesia (YKPI) bersama Tim Penggerak PKK Kecamatan Lhoknga.

Tema yang diangkat, ”Ta Jaga Bumoë, Bek Aneuk Cucho Payah Moë” (Mari jaga bumi, agar anak cucu tak menderita), menggambarkan kekhawatiran sekaligus harapan akan masa depan bumi dari lensa perempuan desa.

Di beberapa gampong salah satunya seperti Gampong Weu Raya, aksi menjaga bumi bukan sekadar narasi.

Ketua TP PKK (Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga)  Gampong Weu Raya, Siti Fatimah mengatakan sejak mendapat edukasi pada Maret lalu dari tim YKPI, didukung oleh PKK kecamatan, kami mulai mengolah sampah rumah tangga dengan cara yang lebih bijak.

Suasana stan UMKM ramah lingkungan dalam kampanye We Can di halaman Kantor Camat Lhoknga. (Foto/Cut Nauval D)

Ia dan ibu-ibu lain di desanya mengaku baru menyadari bahwa limbah organik ternyata bisa diubah menjadi sesuatu yang berguna dan bernilai ekonomi.

“Awalnya kami pikir ini cuma kegiatan bersih-bersih biasa, tapi ternyata menyentuh banyak aspek: lingkungan, kesehatan, bahkan pemberdayaan ekonomi,” jelasnya.

Menurutnya, perubahan kecil di rumah tangga bisa berdampak besar bagi bumi. Sejak mengikuti edukasi perubahan iklim berbasis komunitas, kelompok perempuan di desanya mulai membiasakan memilah sampah, membuat eco-enzym dari kulit buah, hingga memproduksi sabun cuci ramah lingkungan dari bahan sederhana serta memanfaatkan sedotan plastik dan botol bekas menjadi kerajinan tangan dan media tanam.

Produk eco-enzym yang mereka hasilkan bahkan telah melalui proses fermentasi selama tiga bulan. Hasilnya dijadikan bahan dasar sabun cuci piring diberi nama“Gleh Pingan”—yang dipasarkan seharga Rp5.000–Rp10.000. Meski belum bernilai ekonomi besar, produk ini menjadi simbol gerakan sadar lingkungan yang tumbuh dari dapur warga.

“Kami tidak mengejar untung, tapi ingin mengubah pola pikir. Kalau bukan kita yang mulai, siapa lagi?” kata Siti Fatimah.

Salah satu pendekatan unik yang dilakukan di Gampong Weu Raya adalah penyisipan isu lingkungan dalam kegiatan pengajian. Seminggu tiga kali, pengajian rutin digelar.

Di sela kajian keagamaan, diselipkan edukasi tentang pentingnya memilah sampah, menanam pohon, dan tidak membakar limbah rumah tangga.

“Lingkungan itu bagian dari amanah. Jadi mudah disampaikan dalam kerangka nilai-nilai agama,” ujar Fatimah.

Menurutnya, perubahan iklim yang kian nyata—dengan cuaca ekstrem dan kekeringan—telah dirasakan masyarakat.

Hal ini menjadi alasan mendesak bagi para perempuan untuk mengambil peran lebih besar, tidak hanya dalam keluarga, tetapi juga dalam menjaga bumi.

Dialog Go Green pada kegiatan kampanye We Can “Kita bisa menanggulangi perubahan iklim” di Kantor Camat Lhoknga, Aceh Besar, Senin (28/7/2025). (Foto/Cut Nauval D.)

Kampanye We Can juga menghadirkan sesi dialog komunitas, aksi tanam pohon, bersih-bersih lingkungan, serta penandatanganan komitmen bersama antara pemerintah, organisasi masyarakat, dan perwakilan desa.

Komitmen ini menjadi pengingat bahwa perubahan iklim bukan isu global semata, tetapi kenyataan yang dialami di tingkat lokal.

Ketua YKPI Aceh, Ruwaida, dalam sambutannya menyebut gerakan ini sebagai bentuk “tobat ekologi”. Ia menekankan bahwa menjaga bumi adalah tanggung jawab moral manusia sebagai khalifah di bumi.

“Merawat bumi tidak cukup hanya dengan memilah sampah. Perlu kesadaran kolektif bahwa segala tindakan kita hari ini berdampak pada generasi mendatang,” ujar Ruwaida.

Ia juga menyoroti pentingnya membangun sistem tangguh menghadapi krisis air.

Sejak September 2024, sejumlah desa di Lhoknga, mengalami kekeringan. Warga bersama aparatur desa membangun saluran air dan membuka jalur alternatif distribusi bersih. “Kami tidak ingin krisis itu terulang. Ini bentuk kesiapsiagaan dari bawah,” katanya.

Ketua TP PKK Kabupaten Aceh Besar, Rita Mayasari, turut menyaksikan geliat perempuan Lhoknga dalam kampanye We Can. Menurutnya, penguatan UMKM hijau menjadi salah satu strategi penting dalam menghadirkan keberlanjutan.

“Perempuan bukan hanya penggerak ekonomi rumah tangga, tapi juga agen perubahan lingkungan. Inisiatif kecil seperti ini perlu dukungan lintas sektor,” katanya.

Di Lhoknga, UMKM bukan lagi sekadar sumber penghasilan, tetapi juga wahana perubahan. Setiap pot berisi tanaman dari botol bekas, setiap sabun alami yang dibuat bersama, adalah jejak kecil menuju dunia yang lebih lestari.

Lanjutnya, gerakan perempuan Lhoknga menjaga bumi mungkin tampak sederhana. Namun, dari produk daur ulang, sabun cuci piring alami, hingga edukasi rutin digelar, lahirlah harapan dan kesadaran baru. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER