Sabtu, Oktober 12, 2024
BerandaOpiniKetika Jokowi Tawarkan Jengkol dan Petai untuk Gantikan Sawit

Ketika Jokowi Tawarkan Jengkol dan Petai untuk Gantikan Sawit

“Sawit kita sudah gede (luas) banget, kurang lebih 13 juta hektare. Produksi pertahun 42 juta ton. Kalau semakin besar (luas), harganya nanti turun,” kata Presiden RI, Joko Widodo, saat menyerahkan sertifikat hutan sosial seluas 91 ribu hektare untuk petani di Jambi, Minggu (17/12/2018).

Jokowi mengusulkan kepada para petani agar berhenti bergantung pada taman sawit. Karena menurut Jokowi,  harga minyak kelapa sawit sering kali jatuh di pasar internasional.

Presiden meminta petani untuk beralih ke komoditas lain, menanam jengkol, kopi, manggis bahkan petai, yang menurutnya akan lebih menguntungkan.

“Kalian jangan menganggap remeh jengkol dan petai, yang penting harganya. Lahan kita malah ditanami sawit semua. Begitu harga sawit jatuh, sakit semua,” kata Jokowi sebagaimana dilaporkan BBCNews Indonesia.

“Jadi jangan semuanya menanam sawit. Komoditas yang lain kan banyak,” katanya.

Bagi Jokowi, petani sudah seharusnya melakukan diferensiasi komoditas.Tujuannya adalah untuk mencegah kelebihan produksi yang terus meningkat setiap tahunnya. Cara ini bagi Jokowi bisa mencegah kejatuhan harga komoditas.

Implementasinya Sulit Bagi Petani Rakyat

Mungkinkah petani mengalihkan tanaman sawit ke tanaman jengkol, petai, kopi, manggis atau tanaman produktif lainnya?

Seorang petani di kawasan Labuhan Batu Utara (Labura), Sumatera Utara, A.Tambunan, menyebutkan bahwa ide untuk mengganti tanaman sawit ke tanaman jengkol, petai, manggis atau jenis tanaman produktif lain sulit diimplementasikan bagi petani.

Apalagi Tambunan mengaku hanya memiliki lahan kurang dari 2 hektare, dan selama ini hanya mengandalkan lahan sawitnya itu untuk menghidupi keluarganya.

“Kadang untuk membeli pupuk saja tidak cukup hasilnya. Kalau kita tebang, dan kita tanami pohon jengkol atau petai, mau berapa lama lagi menunggunya. Mau makan apa keluargaku,” kata Tambunan, Rabu pagi (19/12/2018).

Hal senada juga diungkapkan seorang petani sawit di Singkil, Aceh, Taufik. Menurutnya, komoditas lain seperti manggis, kopi, jengkol atau petai, merupakan jenis tanaman tua yang membutuhkan waktu menahun untuk berbuah.

“Biasanya jengkol itu di atas 5 tahun baru berbuah, begitu juga petai dan manggis. Lahan kita Cuma sedikit, satu hektare. Kalau kita tebang, penghasilan kami nanti dari mana?,” tanya Taufik.

Menurut Taufik, tidak semua lahan cocok untuk tanaman jengkol, petai, manggis apalagi kopi. Apalagi di lahan gambut seperti kebun sawitnya, Taufik mengatakan, mustahil bisa ditanami jengkol atau petai dengan baik.

“Kalau di lahan gambut, ya…, cuma tanaman sawit yang bisa. Kalau jengkol , petai atau manggis gak mungkin lah. Apalagi kopi, yang membutuhkan lahan dan ketinggian tertentu,” lanjut Taufik.

Harus Diwajibkan kepada Petani Kelas “Kakap”

Pengamat lingkungan dari Universitas Sumatera Utara, Jaya Arjuna, di Medan, Selasa (18/12/2018) menyatakan dukungannya atas saran dari Presiden Jokowi tersebut. Baginya, Indonesia memang sudah seharusnya tidak tergantung kepada komoditi perkebunan sawit.

‘”Tapi imbauan itu mestinya lebih utama ditujukan kepada perusahaan perkebunan sawit besar, kelas ‘kakap’ yang memiliki lahan ribuan hektare,” kata aktivis Transparansi Internasional Indonesia Medan ini.

Perusahaan-perusahaan besar selayaknya diwajibkan oleh pemerintah, menyisakan minimal 10 persen dari luas lahannya, untuk ditanami jenis tanaman hutan produktif. Seperti jengkol, petai, manggis, dan jenis tanaman hutan lain,” tegas Jaya Arjuna.

Kata Jaya Arjuna, perusahaan besar memiliki tanggungjawab yang besar pula untuk melestarikan tanaman hutan yang sudah mereka babat untuk lahan sawit. “Mereka punya tanggungjawab untuk menjaga lingkungan dan melestarikan tanaman hutan yang sudah mereka babat habis untuk sawit.”

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), Jaya Arjuna mengatakan, hampir 60 persen perkebunan sawit yang ada di Indonesia, dikelola oleh perusahaan swasta. Hanya sektiar 32 persen ladang sawit yang dimiliki petani atau masyarakat.

Menurut Jaya Arjuna, bila saran itu hanya ditujukan kepada para petani sawit rakyat atau petani kecil, justru kasihan kepada para petani tersebut. Apalagi bila pendapatan petani kecil itu selama ini hanya tergantung kepada komoditi sawit dan lahannya juga terbatas.

“Jenis tanaman seperti jengkol, manggis, petai dan lainnya itu tidak bisa begitu tanam langsung berbuah. Harus menunggu beberapa tahun. Bagaimana penghasilan petani selama menunggu beberapa tahun itu?,” kata Jaya Arjuna dengan nada bertanya.

Kecuali, lanjut Jaya Arjuna, pemerintah memberikan subsidi kepada para petani, selama mereka menunggu tanaman jengkol, petai, manggis atau kopinya bisa menghasilkan,” tegas Jaya Arjuna.

 Subsidi Petani Saat Harga Turun

Bila Presiden Jokowi merasa kasihan, karena banyak petani sawit yang merugi akibat harga sawit yang sering merosot, justru pemerintah harus mencarikan solusi yang masuk akal bagi petani.

Jaya Arjuna menyebutkan, pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada petani sawit rakyat, misalnya dengan memberikan subsidi saat harga sawit anjlok.

“Saat harga sawit anjlok, pemerintah mestinya bisa memberikan subsidi yang dananya disisihkan dari hasil pajak sawit yang dikutip selama ini. Yang disubsidi ya… petani rakyat. Nantinya bila ada subsidi saat harga sawit anjlok, para petani masih bisa tetap bertahan, tidak merugi seperti selama ini,” ujarnya.

Harga Sawit Hanya Rp500 – Rp600/Kg

Sebagaimana dilaporkan BBCNews Indonesia, peneliti pada Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Rusli Abdullah, menyebut, usul Jokowi hanya bisa diterapkan oleh petani yang memiliki lahan baru.

Para petani yang sudah menanam sawit, kata dia, justru akan merugi jika beralih ke komoditas lain.

“Alternatif komoditas itu penting bagi mereka yang belum menanam sawit,” kata Rusli saat dihubungi.

“Bagi yang sudah terlanjur, mereka butuh biaya. Jadi mereka justru rugi karena harus membersihkan kebun sawit dan menanam ulang,” ujarnya melanjutkan.

Merujuk data Serikat Petani Kelapa Sawit, pada akhir November 2018, komoditas sawit yang disebut dengan istilah tandan buah segar (TBS) harganya hanya mencapai sekitar Rp600/kilogram.

Pada periode yang sama, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian bahkan menyebut TBS hanya dihargai Rp500/kilogram.

Sebagai perbandingan, harga acuan TBS yang ditetapkan pemerintah provinsi ada di kisaran Rp1.200 hingga Rp1.400/kilogram.

Menurut Rusli, petani sawit dapat tertolong jika pemerintah membeli hasil produksi mereka dengan nilai wajar. Dia mengatakan minyak sawit itu dapat dialihkan menjadi bahan bakar biodiesel.

Dengan strategi ini, menurut Rusli, pemerintah secara tidak langsung menekan pengeluaran untuk impor minyak mentah.

“Jadi sawit digunakan untuk campuran solar. Sehingga kebutuhan minyak yang menjadi salah satu penyebab defisit anggaran nasional semakin kecil,” tutur Rusli sebagaimana dilaporkan BBCNews Indonesia.

Melihat kenyataan itu, memang agaknya akan sulit implementasinya, bila ide tersebut hanya ditujukan kepada petani sawit rakyat. Justru pengalihan tanaman kelapa sawit ke tanaman hutan produktif, seperti jengkol, petai, manggis atau kopi, dapat dicontohkan terlebih dahulu oleh perusahaan-perusahaan swasta mau pun BUMN, yang menguasai lahan puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu hektare.

Jadi sudah sewajarnya Presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan yang mengikat, untuk mengharuskan semua perusahaan perkebunan swasta dan milik BUMN, menyisakan sebagian lahannya bagi tanaman hutan produktif.

Cara ini dipandang lebih efektif, tidak saja untuk tujuan pengendalian lingkungan, tapi juga untuk melestarikan tanaman hutan produktif, yang suatu saat bisa punah bila pembukaan lahan perkebunan sawit tidak bisa dikendalikan. Dan semoga juga nantinya bisa menjadi contoh bagi petani sawit rakyat, perlahan menganti tanaman sawitnya ke tanaman produktif lain, yang tidak rentan terhadap isu lingkungan dan fluktuasi harga. Semoga saja. (Al-Farizi)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER