Banda Aceh (Waspada Aceh) – Aktivis lingkungan Aceh, Tezar Pahlevi, mengungkapkan kejahatan kehutanan di Aceh selama ini terorganisir dan terstruktur.
Aktivitas pemebangan kayu ilegal itu melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan, mengakibatkan masyarakat kecil di sekitar hutan menjadi korban.
“Saya melihat di lapangan, kerusakan hutan tidak hanya terjadi karena faktor ekonomi (masyarakat), tapi karena memang ditunggangi oleh berbagai kepentingan. Siapa jadi korban, ya masyarakat kecil yang tinggal di sekitar hutan,” ujarnya saat menjadi narasumber dialog Podcast Bu Talk oleh Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAkA), Kamis (27/6/2024).
Tezar menyoroti kasus di Tenggulun, Aceh Tamiang, di mana alih fungsi hutan diduga dilakukan oleh pengusaha kebun kelapa sawit. “Saya melihat langsung di Tenggulun. Tidak mungkin dilakukan masyarakat biasa karena melibatkan alat berat dan mencapai puluhan hektare,” ungkapnya.
Kejahatan kehutanan di Aceh berupa alih fungsi hutan menjadi perkebunan monokultur, seperti yang terjadi di Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Selain itu, pembalakan liar atau illegal logging juga menjadi ancaman, meskipun skalanya tidak sebesar di provinsi lain.
“Hal ini menjadi tantangan karena Aceh memiliki hutan yang luas dan topografi yang cukup menantang. Berbagai modus dilakukan para pelaku kejahatan kehutanan, pengawasan pun masih minim, mungkin mereka takut diancam,” jelas Tezar.
Tezar menjelaskan untuk menelusuri rantai pasok kayu, diperlukan penyelidikan yang mendalam dan pengumpulan informasi yang akurat, mulai dari lokasi penebangan hingga tempat penampungan kayu.
“Kayu ilegal sering ditumpuk di luar kawasan hutan dan seolah-olah itu kayu legal. Saat diangkut menggunakan truk, dibawa ke pangkalan terdekat atau ke luar provinsi. Ini membutuhkan pembuktian yang cukup panjang ” paparnya.
Tezar meminta penegakan hukum yang lebih tegas, karena selama ini tidak memberikan efek jera kepada pelaku. Ia meminta aparat penegak hukum (APH) dengan pendekatan multi-door dalam menjerat pelaku kejahatan kehutanan, termasuk mengaitkannya dengan tindak pidana pencucian uang dan korupsi.
“Selama ini, yang sering ditangkap hanya para penebang yang biasanya masyarakat biasa. Miris sekali, tidak sampai kepada pemodal. Penegak hukum harus mengikuti aliran uang untuk memutus rantai kejahatan kehutanan,” tutupnya.
“Kejahatan kehutanan di Aceh tidak berdiri sendiri, ada kejahatan korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang terkait,” tutupnya (*)