Sabtu, November 8, 2025
spot_img
BerandaEkonomiJejak Alam di Setiap Helai Ecoprint Sabang, Perempuan Bangkitkan Pariwisata Ujung Barat...

Jejak Alam di Setiap Helai Ecoprint Sabang, Perempuan Bangkitkan Pariwisata Ujung Barat Indonesia

“Kreativitas ibu-ibu binaan IPEMI menjadikan ecoprint sebagai ikon baru pariwisata Pulau Weh”

Di teras rumah produksi sederhana di Kota Sabang, beberapa perempuan tampak sibuk menempelkan daun dan bunga di atas bentangan kain. Setelah tertata rapi, kain itu digulung lalu dikukus dalam dandang besar.

Inilah rumah produksi UMKM Ecoprint Sabang, komunitas perempuan perajin di bawah binaan Ikatan Pengusaha Muslimah Indonesia (IPEMI). Dari tempat

sederhana ini, lahir karya kreatif yang kini menjadi salah satu ikon ekonomi kreatif unggulan di ujung barat Indonesia.

Komunitas ini berawal dari masa pandemi Covid-19. Aktivitas luar rumah dibatasi, banyak ibu rumah tangga kehilangan ruang berkreasi dan peluang ekonomi.

“Waktu itu semua serba diam di rumah. Kami ingin tetap produktif tanpa harus keluar rumah,” kenang Erna Fefilinda, pendiri komunitas yang akrab disapa Bunda Linda, saat ditemui di rumah produksinya, Rabu (5/11/2025).

Berbekal rasa ingin tahu, Linda mulai belajar ecoprint secara otodidak dari video daring. Dari percobaan sederhana di dapur rumahnya, perlahan lahirlah karya yang kini dikenal luas.

Empat tahun berlalu, Ecoprint Sabang telah berkembang menjadi wadah bagi 20 ibu perajin, masing-masing dengan merek sendiri, tetapi tetap bernaung di bawah komunitas yang sama.

Teknik yang Ramah Alam

Ecoprint berasal dari Australia dan diperkenalkan pertama kali oleh seniman tekstil India Flint. Teknik ini kini mendunia, termasuk ke Sabang menggabungkan kreativitas dan kesadaran lingkungan.

Ibu-ibu perajin Ecoprint Sabang sedang menata dedaunan di atas bentangan kain. (Foto/Cut Nauval D)

Proses pembuatannya sederhana namun membutuhkan ketelatenan. Daun dan bunga disusun di atas kain, digulung, lalu dikukus selama dua jam. Setelah itu, kain didiamkan tiga hari agar pigmen alami benar-benar menempel sempurna.

“Ini bukan batik biasa, tapi batik go green. Semua bahannya alami dan ramah lingkungan,” kata Linda.

Linda memperlihatkan selembar kain kuning cerah hasil ekstraksi kunyit. Ada pula warna merah muda dari kayu secang, serta hijau dari teh hijau.

Tak ada limbah yang terbuang sia-sia. Sisa daun digunakan kembali sebagai pewarna atau dijadikan pupuk organik.

“Semua bagian dari alam kami kembalikan lagi ke alam,” ujarnya.

Kini, rumah produksi Ecoprint Sabang tampak lebih hidup. Dukungan dari Bank Indonesia (BI) membuat mereka memiliki peralatan produksi lengkap mulai dari kukusan besar hingga ruang penyimpanan daun segar.

Ibu-ibu perajin Ecoprint Sabang sedang menata dedaunan di atas bentangan kain. (Foto/Cut Nauval D)

Produksi meningkat dari hanya lima lembar kain di awal menjadi 25 lembar per hari. Produk mereka telah menghiasi etalase dua tempat wisata populer di Sabang: Matai Resort dan Restoran Putro Ijo. Tak hanya itu, para perajin juga menjual karyanya secara daring untuk menjangkau pasar lebih luas.

Harga produk ecoprint Sabang berkisar Rp300.000–Rp500.000, jauh lebih murah dibanding produk serupa di Jawa yang bisa mencapai jutaan rupiah. Namun kualitasnya, kata Linda, tak kalah.

“Turis dari Malaysia sering beli dalam jumlah banyak. Mereka suka karena motifnya unik dan alami,” ujarnya bangga.

Bagi Linda, ecoprint bukan hanya karya seni, melainkan simbol kesadaran ekologis yang tumbuh dari tangan perempuan. Setiap helai kain membawa pesan tentang alam yang dijaga dan kehidupan yang tumbuh di sekitarnya.

“Kami tidak ingin hanya membuat kain indah, tapi juga menjaga lingkungan. Karena setiap helai kain ini membawa jejak daun yang hidup dari tanah Sabang,” tutur Linda

Dari daun yang jatuh, para perempuan Sabang menenun kembali kehidupan. Di setiap serat kain, mereka meninggalkan jejak alam warna, aroma, dan cinta pada bumi yang tak lekang oleh waktu. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER