Sabtu, Juni 28, 2025
spot_img
BerandaAcehJangkar Kopi, Ruang Pemulihan Penyintas TPPO di Tengah Kabut Keadilan

Jangkar Kopi, Ruang Pemulihan Penyintas TPPO di Tengah Kabut Keadilan

Kepulan asap membumbung dari wadah aluminium. Aroma khas kopi robusta Aceh merebak saat Indra Wardhana (26), menyaring kopi dari satu wadah ke wadah lainnya secara berulang.

Tangan terampilnya mengangkat saringan kain tinggi-tinggi hingga menuang kopi ke dalam gelas kaca. “Lagee biasa, kupi pancong saboh beuh (seperti biasa, kopi setengah gelas satu ya!),” seru seorang pelanggan dalam bahasa Aceh.

“Get, (baik),”  jawab Indra. Tangannya sigap menyelesaikan pesanan, dan mengantar  ke pelanggannya yang duduk di teras warung, sore itu, Kamis (14/4/2025).

Aceh berjulukan negeri seribu warung kopi. Namun Kopi Jangkar bukan sekadar warung biasa. Di sinilah, mantan Anak Buah Kapal (ABK) yang pernah bekerja di laut lepas menambatkan harapan.

Mereka korban eksploitasi, diperbudak di atas kapal asing. Namun sayangnya, laporan para ABK kerap kandas di meja aparat penegak hukum.

Indra, tampak seperti barista berpengalaman. Siapa sangka, pemuda asal Lhokseumawe ini sebelumnya bekerja sebagai ABK di kapal cumi berbendera Tiongkok, Xin Hai 1223. Dia bersama teman-temannya mengalami perlakuan yang tidak manusiawi selama bekerja sebagai ABK kapal asing. Bisa disebut mereka ini sebagai penyintas.

Ia berangkat pada 2018, tak lama setelah lulus dari SMK Negeri 6 Lhokseumawe. “Kami diarahkan untuk urus berkas, terus berangkat. Saya percaya karena info datang dari guru di sekolah,” cerita Indra.

Namun harapan itu pupus di tengah laut. Gaji tak dibayar penuh, kontrak diabaikan, dan para ABK dipaksa bekerja lebih dari 20 jam per hari dalam kondisi memprihatinkan.

“Gaji nggak sesuai kontrak. Banyak yang nggak dibayar,” ujarnya.

Setelah kembali ke Aceh pada 2019, sulitnya lapangan pekerjaan membuat Indra kembali terombang-ambing. Hingga akhirnya ia “berlabuh” di Warung Kopi Jangkar, berlokasi di Jl Laksamana Malahayati, Kajhu, Aceh Besar.

Tempat Bersosialisasi Para Penyintas

Jangkar Kopi dibuka sejak November 2024 oleh Lembaga Sumatera Environmental Initiative (SEI) yang merupakan lembaga pendampingan hukum terutama bagi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) terkhususnya ABK.

Indra tak sendirian. Di warung ini, ia bekerja dengan sesama penyintas, ABK yang pernah terjerat dalam perdagangan manusia berkedok penempatan kerja di kapal asing.

Jangkar Kopi berada di Jl Laksamana Malahayati, di Kajhu, Kec Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar. (Foto/Cut Nauval D).

Selama tujuh bulan terakhir, Jangkar Kopi ini telah menjadi rumah perjuangan para penyintas, bukan sekadar tempat kerja, tetapi juga ruang pendampingan psikologis dan advokasi hukum.

Di sana jurnalis Waspadaaceh.com juga berbincang langsung dengan beberapa aktivis SEI di warung Jangkar Kopi ini. Sambil menyeruput kopi, kami membahas perlindungan pekerja migran dan advokasi kebijakan yang tengah diperjuangkan.

“Ini bukan sekadar usaha. Warung ini tak hanya menjadi ruang penghidupan, tapi juga pemulihan,” kata Maskur Agustiar,
Direktur SEI, sambil menyeruput kopi.

Nama Jangkar mereka pilih karena melambangkan kekuatan dan ketahanan. Seperti jangkar yang menambat kapal besar agar tak hanyut oleh arus.

“kami berharap para penyintas juga bisa bertahan dan bangkit,” harapnya.

Tanpa pendampingan, para eks-ABK berisiko kembali ke kapal dan kembali terjerat eksploitasi serupa. Untuk itu, SEI telah mengajukan permohonan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bagi puluhan korban.

Hasil pemeriksaan psikologis menunjukkan banyak dari mereka mengalami trauma berat: menarik diri, mudah tersinggung, dan kehilangan semangat hidup.

“Korban bisa kehilangan arah, sering merasa cemas, emosi yang tak stabil, dan menarik diri dari lingkungan sekitar,” jelasnya .

Kehadiran warung kopi menjadi strategi pemulihan. Bukan hanya sebagai ruang kerja, tetapi sebagai terapi sosial. Di sinilah mereka bisa berinteraksi, diajak bicara, dan perlahan membangun kembali kepercayaan dirinya.

Terperangkap” di Kapal Asing, Bahkan Ada yang Meninggal

Indra bukan satu-satunya korban. Dalam lima tahun terakhir, SEI mengindentifikasi sebanyak 43 pemuda Aceh menjadi korban terjebak dalam jaring-jaring penempatan kerja di kapal asing. Hingga kini, hanya 12 korban yang memberikan keterangan, sementara sebagian masih hilang kontak dan lainnya belum kembali.

Beberapa di antara mereka adalah Azin Al-Basir, Khairol Aman, dan Aulia Zikrul, alumni Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Negeri Ladong, Aceh Besar. Mereka direkrut oleh PT SAI dan dikirim ke kapal penangkap cumi berbendera China, Lu Lan Yuan Yu 088.

Sebelumya jurnalis juga telah mewawancarai Azin Al-Basir salah satu korban, ia mengaku percaya karena perekrut datang melalui sekolah. “Saya pikir ini jalur resmi, apalagi informasi lewat alumni dan guru sendiri,” ujarnya.

Namun kenyataan berbicara lain, mereka mengalami kekerasan fisik, gaji tak dibayar hingga tekanan psikologis di atas kapal.  Ia merasa dijebak oleh sistem yang membungkus eksploitasi dalam kemasan peluang kerja.

Baca juga : Ketika Sekolah Jadi “Pintu” Perdagangan Orang di Kapal Asing

Nasib lebih tragis menimpa Fadhil (24), warga Pidie. yang juga direkrut melalui PT SAI. Fadhil hingga kini tak pernah kembali. Ia meninggal di atas kapal Wei Yu 18 pada 26 September 2019 karena penyakit beri-beri. Jenazah ABK asal Pidie ini kemudian disimpan dalam freezer selama dua minggu, sebelum akhirnya dilarung di perairan Chili.

Keluarga korban juga menerima surat yang berisi pernyataan bahwa korban sudah meninggal dunia. Diketahui, pihak perusahaan akan mengganti rugi dengan memberikan asuransi jiwa sebesar Rp150 juta, uang duka Rp25 juta dan gaji selama 12 bulan sebesar 450 dolar AS. Namun belum diketahui bagiamana tindak lanjut dari surat tersebut.

SEI menilai kasus yang dialami Indra, Azin, dan rekan-rekannya adalah contoh nyata dari perbudakan modern yang masih terjadi dalam industri perikanan.

Penegakan Hukum Lamban

Mandeknya proses hukum membuat ketidakadilan terus berlarut. Tak kunjung ada tersangka yang ditetapkan sejak laporan dilayangkan ke Polda Aceh pada November 2023, SEI bersama para penyintas juga menggelar aksi di depan Kantor Gubernur Aceh pada 4 April 2024

Kekecewaan semakin memuncak ketika tidak ada tindak lanjut berarti dari aparat penegak hukum. Melalui kuasa hukumnya, Andi Suhanda, SEI melayangkan surat kepada Kabid Propam Polda Aceh pada 4 Oktober 2024 sebagai bentuk protes atas penyidikan yang dianggap tidak transparan.

Aksi pun kembali digelar, kali ini di depan Polda Aceh pada 19 Desember 2024. Namun, tuntutan mereka masih belum digubris.

Massa yang terdiri aktivis lingkungan dari Sumatera Environmental Initiative dan eks pekerja migran di kapal asing, berunjuk rasa di halaman Kantor Gubernur Aceh, Banda Aceh, Rabu (3/4/2024). (Foto/Cut Nauval D).

“Kami udah bolak-balik ke Polda, tapi belum jelas ujungnya. Kalau kami diam, tidak akan ada perubahan,” katanya.

Alih-alih mempercepat penyelesaian, pihak kepolisian justru mengambil langkah yang semakin memupus harapan korban.

Kompol Isra dari Subdirektorat IV Ditreskrimum Polda Aceh, saat ditemui Waspadaaceh.com, mengklaim bahwa gelar perkara telah dilakukan pada Januari 2025. Ia menyebut sebagian kasus dihentikan karena pelakunya telah meninggal dunia, sementara sisanya dilimpahkan ke Polda Jawa Tengah dan Polres Metro Bekasi Kota, Polda Metro Jaya sesuai dengan locus atau tempat kejadian perkara.

SEI menilai tidak hanya mengabaikan hak-hak korban, tetapi juga menunjukkan ketidakseriusan aparat dalam menangani kasus perdagangan manusia di sektor kelautan.

Dalih pelimpahan karena alasan locus delicti dianggap mengaburkan inti persoalan yakni tanggung jawab negara dalam menyelesaikan eksploitasi terhadap anak-anak muda Aceh yang dipekerjakan secara ilegal di kapal asing.

Polisi menyebut telah melakukan gelar perkara, tetapi yang dimaksud hanya pernyataan dalam pertemuan di ruang Dirreskrimum Polda Aceh dan saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPRA, papar Andi, Kuasa Hukum SEI.

“Pertemuan informal dengan Dirreskrimum di Polda Aceh tidak bisa dianggap sebagai gelar perkara yang sah, kami minta Polda untuk melakukan gelar perkara luas biasa,”jelasnya.

Andi juga mengatakan bahwa pelimpahan kasus dan penghentian penyelidikan tanpa alasan jelas sangat merugikan korban.

Tumpang Tindih Regulasi

Di tengah maraknya kasus perdagangan orang yang melibatkan perusahaan perekrut ABK untuk kapal asing, negara kerap kecolongan.

Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), lembaga resmi negara yang mengurusi pekerja migran, acap kali baru mengetahui kasus setelah para korban mengalami masalah di luar negeri.

Bahkan, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Wilayah Aceh baru mendapat informasi setelah pihak keluarga melapor.

Kepala BP3MI Aceh, Siti Rolijah, menyebut tidak ada data terkait jumlah ABK asal Aceh yang menjadi korban TPPO, karena mereka diberangkatkan melalui agen perekrut dan kantor perusahaan di Pulau Jawa tanpa pelaporan ke pemerintah daerah.

Ia menduga, terdapat pola sistematis yang dijalankan manning agency untuk menghindari pengawasan negara dengan mengarahkan calon ABK agar tidak melapor ke instansi pemerintah.

Ia juga menyoroti tumpang tindih regulasi sebagai hambatan besar dalam penanganan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di sektor kelautan. Dualisme aturan menjadi celah penyalahgunaan, terutama saat peralihan dari UU No. 39/2004 tentang TKI ke UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

“HUBLA mengatur perekrutan melalui SIUPPAK, sementara Kemenaker lewat SIP3MI. Ketidaksesuaian ini dimanfaatkan mafia tenaga kerja untuk merekrut secara ilegal,” kata Siti.

Dari persoalan itu, pemerintah kini mulai menertibkan manning agency dan menegaskan bahwa penempatan ABK harus melalui sistem resmi BP2MI. Penerapan sistem satu pintu diyakini menjadi solusi agar pekerja migran, termasuk ABK, terlindungi secara hukum dan administratif.

“Kasus-kasus seperti ini seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak bahwa pekerja migran tidak boleh diberangkatkan tanpa perlindungan negara,” tegas Siti Rolijah.

Infografis perjalanan panjang mencari keadilan bagi korban TPPO melibatkan Anak Buah Kapal (ABK) asal Aceh. (Infografis/Cut Nauval D).

Karut Marut Tata Kelola Penempatan ABK di Kapal Asing

Melihat fenomena terhadap maraknya para ABK yang dieksploitasi,  mendorong SEI melakukan riset mendalam. Penelitian dilakukan melalui wawancara dengan mantan ABK di Aceh, lembaga pemerintah terkait, serta penelusuran berbagai dokumen.

Hasil riset menemukan unsur TPPO dalam kasus ini terpenuhi, baik dari segi proses, cara, maupun tujuan. Mulai dari rekrutmen palsu, kekerasan, kerja paksa, hingga upah yang tidak dibayar, semuanya mencerminkan praktik perbudakan modern di industri perikanan internasional. Sebagian besar korban direkrut melalui jaringan pendidikan atau informasi kerja informal.

SEI menyebut, dalam sejumlah wawancara dengan mantan ABK, diketahui bahwa informasi mengenai peluang kerja ke kapal asing kerap disampaikan oleh guru di sekolah. Informasi serupa juga disebarkan melalui alumni yang pernah bekerja sebagai ABK.

“Temuan kami mengarah pada adanya jaringan yang terorganisasi dalam proses perekrutan dan penempatan ABK, mulai dari calo, agen perekrut, hingga dugaan keterlibatan lembaga pendidikan di sektor kelautan dan perikanan,” ujarnya.

Peneliti kebijakan SEI, Crisna Akbar menjelaskan hasil riset  SEI menemukan bahwa penempatan Anak Buah Kapal (ABK) asal Aceh dinilai masih amburadul.

SEI mencatat berbagai kelemahan sistemik: tumpang tindih regulasi, buruknya sistem data, lemahnya pengawasan, hingga ketidakjelasan prosedur penerbitan dokumen penting seperti paspor dan buku pelaut.

Lanjut Crisna, bahwa proses penerbitan dokumen penting, seperti paspor, buku pelaut, dan sertifikat pelatihan, kerap kali dilakukan tanpa proses verifikasi yang ketat. Bahkan ditemukan indikasi pemalsuan data dalam proses administrasi tersebut.

“Banyak paspor dibuat dengan alasan wisata. Akibatnya, pengawasan menjadi sangat sulit,” ujarnya.

Prosedur penerbitan buku pelaut juga dinilai tidak jelas. Tidak ada perbedaan perlakuan antara ABK yang bekerja di kapal niaga dan kapal perikanan. Selain itu, tidak dilakukan pengecekan latar belakang dan kompetensi saat dokumen ini diterbitkan.

Sertifikat pelatihan Basic Safety Training (BST), yang semestinya menjadi bekal keselamatan kerja, kerap hanya menjadi formalitas administratif. Banyak ABK yang tidak memahami substansi pelatihan tersebut. Minimnya informasi membuat para ABK bergantung pada jaringan informal, termasuk calo dan oknum.

Dalam situasi darurat di laut, tidak ada standar operasional prosedur nasional yang melindungi mereka. Crisna menambahkan, meski Indonesia memiliki UU No. 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran, implementasinya di sektor kelautan masih lemah. “Kita juga belum meratifikasi Konvensi ILO 188 yang menjamin hak-hak pekerja perikanan,” tegasnya.

Kendala dalam penanganan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di sektor kelautan juga akibat tumpang tindih regulasi perekrutan awak kapal.

“Kemenhub mengeluarkan SIUPPAK, sementara Kemenaker menerbitkan izin P3MI. Dualisme ini dimanfaatkan mafia untuk perekrutan ilegal,” katanya.

Ia juga menyoroti rendahnya pemahaman aparat terhadap TPPO. “Penegak hukum kerap hanya fokus pada bukti transfer, padahal unsur TPPO tak selalu terkait transaksi keuangan,” ujarnya.

SEI meminta pemerintah Aceh memperkuat kapasitas aparat dan membenahi sistem perekrutan. Edukasi harus diberikan sejak di desa, termasuk pengawasan ketat terhadap izin keberangkatan.

Pemerintah Aceh juga diminta mengevaluasi peran Dinas Pendidikan yang dinilai lalai dalam pengawasan lembaga yang merekrut pekerja kapal secara ilegal. Selain itu, pengawasan kerja oleh Dinas Kelautan dan Perikanan juga dinilai masih lemah.

“Belum ada standar soal sistem upah dan kenyamanan kerja di kapal. Aceh perlu gebrakan baru dalam tata kelola perekrutan dan perikanan,” tegas Crisna

SEI terus mengawal kasus ini sembari merancang skema ekonomi alternatif melalui pendirian Jangkar Kopi. Meski kondisi finansial belum stabil, warung tetap buka setiap hari.

“Ini bukan soal untung-rugi, tapi bagaimana kami memberi makna baru bagi hidup para penyintas,” ujar Maskur.

Kini, empat mantan ABK bekerja di Warung Kopi Jangkar. Hasil usaha mereka tak hanya digunakan untuk operasional harian, tapi juga menopang biaya advokasi dan hukum.

Di warung itu, mereka berdiskusi, berbagi strategi, hingga menyusun langkah advokasi ke depan. Dari ruang kecil inilah, upaya besar perlindungan terhadap korban eksploitasi laut mulai dijahit pelan-pelan.

Tak mendapat keberuntungan dari lautan, tapi Indra tak patah arang, kini ia berjuang di daratan. Di Jangkar kopi ia mencoba peruntungannya, dengan harapan ia bisa mendapat kehidupan ekonomi yang lebih baik dan lebih manusiawi.

Di balik aroma kopi dan riuhnya para pelanggan di Jangkar Kopi, ada luka panjang yang belum disembuhkan. Tapi di ruang kecil itu, perjuangan perlahan diracik. Dalam setiap cangkir yang dihidangkan, para korban perdagangan manusia mencoba menambatkan jangkar mereka untuk bertahan. (*)

  • Laporan ini didukung oleh program beasiswa liputan dari Environmental Justice Foundation (EJF) dan Project Multatuli.
BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER