Sabtu, Juli 27, 2024
Google search engine
BerandaJadi Perdebatan Hangat, Soal Pengajian selain Mazhab Syafi'i di Aceh

Jadi Perdebatan Hangat, Soal Pengajian selain Mazhab Syafi’i di Aceh

Jakarta — Surat edaran Plt.Gubernur Aceh tentang larangan pengajian dan kajian selain bermazhab Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dan Mazhab Syafi’i di Aceh, terjadi pro kontra. Di level daerah, berbagai lembaga memberi dukungan, tapi oleh MUI Pusat surat edaran yang diperuntukkan untuk ASN (Aparat Sipil Negara) itu, mendapat tanggapan serius.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI, Anwar Abbas, menyesalkan surat edaran yang dikeluarkan Plt. Gubernur Aceh,  Nova Iriansyah, tersebut. Surat edaran tersebut tak mencerminkan kearifan dan toleransi yang menjadi ciri khas umat Islam di Indonesia, termasuk di Aceh, kata Abbas sebagaimana dikutip dari laman CNNIndonesia.com, Senin (30/12/2019).

“Semestinya Pemerintah Aceh menghargai perbedaan pendapat yang merupakan sikap dan pandangan dari Imam Syafi’i itu sendiri,” jelas Abbas.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI, Anwar Abbas. (Foto/Ist)

Terkait dengan sikap MUI Pusat tersebut, DPP Partai Daerah Aceh (PDA) menyesalkan sikap MUI yang mengimbau pencabutan Surat Edaran Plt Gubernur Aceh terkait pelarangan pengajian dan kajian selain Ahlussunnah wal Jamaah yang bersumber dari Mazhab Syafi’iyah.

“Kami sangat menyesalkan imbauan MUI Pusat yang terkesan mengintervensi Surat Edaran nomor 450/21770. MUI tidak berhak dan tidak memiliki wewenang mengintervensi dalam bentuk apapun terkait surat edaran dimaksud yang memang sudah memiliki regulasi hukum,” tegas Sekjen DPP Partai Daerah Aceh (PDA), Teungku Razuan Selasa (31/12/2019) di Banda Aceh sebagaimana dikutip dari laman Ajnn.com.

Menurutnya, PDA sebagai satu-satunya Parlok yang berasaskan Ahlussunnah wal Jamaah ini meminta MUI untuk menghormati kewenangan khusus Aceh dalam hal pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.

“MUI tidak perlu ikut campur terhadap pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, karena Aceh memiliki kekhususan serta MPU Aceh juga memiliki Qanun No 2 tahun 2019 sebagai landasan hukum yang memiliki tupoksi dan wewenang yang berbeda dengan MUI,” ujarnya.

Alumni Dayah Darussalam Labuhan Haji ini menambahkan, justru keluarnya surat edaran tersebut demi menciptakan keharmonisan dan toleransi dalam bingkai Islam dan menghalau pemikiran radikalisme dan ekstrim yang saat ini marak berkembang.

“MUI terkesan tidak paham kondisi beragama di Aceh. Justru keluarnya surat edaran tersebut bertujuan untuk menjaga toleransi dan menutup ruang bagi pemikiran radikal dari kelompok-kelompok yang selama ini sering menyesatkan dan mengkafirkan ummat Islam, khususnya di Aceh,” ujarnya.

Terkait dengan pembatasan kajian selain Mazhab Syafi’iyah, menurutnya bukan berarti tidak menghormati mazhab-mazhab mu’tabar lainnya yang sudah ada, melainkan demi menjaga ukhuwah dan pemikiran ummat dari segala perbedaan yang bisa menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.

“Ironis, jika MUI tidak paham bahwa Mazhab selain Syafi’iyyah seperti Malikiyyah, Hanabilah, dan Hanafiyyah merupakan bagian dari Ahlusunnah wal Jamaah. Akan tetapi, di Aceh tidak ada satupun kelompok yang beramaliah atau bermazhab di luar Syafiiyyah karena memang Syafiiyyah adalah mazhab yang dianut Rakyat Aceh sejak masa Kesultanan,” tutup Razuan. (**)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER