Minggu, Desember 14, 2025
spot_img
BerandaEditorialIroni, Sikap Pusat di Tengah Ketidakmampuan Tangani Korban Bencana

Ironi, Sikap Pusat di Tengah Ketidakmampuan Tangani Korban Bencana

Sejak hari pertama bencana menerjang, bayangan negara seolah lenyap, hanya ada harapan kosong hingga matahari terbit dan tenggelam lagi.

Di tengah kesedihan yang mengendap akibat terjangan bencana di sudut Sumatera, yang menewaskan 1.012 jiwa. Terbanyak di Aceh, mencapai 424 jiwa, setelah wilayahnya porak-poranda diterjang banjir bandang, para korban yang masih bernyawa bertanya: “Dimana negara kita?”

Pertanyaan itu tidak hanya keluar dari bibir korban yang kelaparan, tapi juga dari jiwa yang terkurung, terisolir, dari anak yang menangis karena tidak ada makanan. Dari istri yang menunggu suaminya yang terjebak di reruntuhan tanah longsor. Dan di tengah kegelapan yang meliputi wilayah yang hilang hubungan dengan dunia luar.

Terbangun ironi yang sekeras batu: pemerintah pusat, yang seharusnya menjadi pelindung, malah menutup pintu bantuan dari luar negeri, sementara dirinya tidak mampu memberikan solusi cepat menolong para korban, selain menebar janji yang hampa.

Sejak hari pertama bencana menerjang, bayangan negara seolah lenyap hanya ada harapan kosong hingga matahari terbit dan tenggelam lagi. Korban menunggu, hari demi hari, tapi tidak ada truk yang mengangkut personel atau bahan bantuan mendatangi mereka.

Tidak ada makanan, obat dan tidak ada air bersih. Kecuali harapan hidup yang datang dari para relawan, yang tampak lebih sigap dan solutif. Hingga dua pekan kemudian, kawasan Aceh Tamiang, wilayah Provinsi Aceh yang paling parah terdampak bencana, masih terbenam dalam kegelapan total: listrik padam, komunikasi mati, BBM habis, rumah penuh lumpur. Begitu pula warga di beberapa daerah di Aceh Utara, Aceh Timur, Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan daerah lainnya.

Rakyat yang terkurung di situ menghadapi kelaparan yang mengancam nyawa, sakit yang menyebar, dan kecemasan yang melampaui batas. Di Aceh Tamiang, hingga pada suatu hari, mereka mengangkat bendera putih, bendera yang dulu menandakan penyerahan di medan perang, tapi sekarang menjadi sinyal kecemasan yang paling dalam: “Kami menyerah. Tolonglah kami.”

Dan ironisnya, bendera itu berkibar sehari sebelum kedatangan Presiden Prabowo ke kawasan yang terluka. Seolah itu adalah pesan yang tersembunyi, yang tidak ingin terlewatkan oleh sang pemimpin negara.

Tetapi pesan itu seolah terbuang sia-sia. Pemerintah pusat tetap gagap, tetap tunduk pada keputusan yang tak masuk akal: menolak penetapan status Bencana Nasional. Tanpa status itu, pintu untuk bantuan dari negara lain ditutup rapat. Padahal di luar sana, banyak negara telah menawarkan bantuan makanan, obat-obatan, dan perlengkapan penyelamatan, yang dengan cepat bisa meredakan penderitaan korban.

Tapi pemerintah justru memalingkan muka, dengan kesombongan yang membuat jiwa terasa dingin. “Kita mampu sendiri,” seolah itu adalah kata-kata yang diucapkan tanpa melihat realitas korban yang memilukan di lapangan.

Betapa menyakitkan ironinya! Aceh, yang dulu menjadi tulang punggung kemerdekaan Indonesia, yang dengan semangat dan kekayaan alamnya memodali lahirnya negara ini, sekarang terasa seperti anak yatim yang ditinggalkan di tengah hutan belantara yang gelap, penuh lumpur mematikan.

Aceh yang dulu pernah berjuang untuk merdeka, karena merasa dikhianati, kini kembali mengucapkan kata itu, tapi dengan nada yang berbeda: bukan untuk membebaskan diri dari penjajahan, melainkan untuk membebaskan diri dari ketidakhadiran negara yang seharusnya melindungi mereka.

Para korban tidak merasa terancam oleh bencana alam semata, melainkan oleh ketidakmampuan negara untuk menolong mereka dari bencana itu. Para pemimpin abai, justru sast para korban membutuhkan kehadiran negara di sisinya.

Di tengah kegelapan yang semakin dalam, para pejabat hanya mampu mengobral janji yang hampa. “Kita akan segera mengatasi”. “Bantuan akan tiba besok”. “Besok listrik akan nyala di seluruh Aceh”. Kata-kata itu terucap berulang kali, tapi tidak benar-benar mampu diwujudkan.

Korban hanya melihat bayangan pejabat yang datang, mengambil foto, dan pergi, tanpa meninggalkan solusi yang berarti selain harapan yang hancur. Hingga akhirnya, mereka menyadari: bahwa yang paling berbahaya bukanlah bencana itu sendiri, melainkan sikap pemerintah yang acuh tak acuh, yang lebih mementingkan harga diri yang palsu daripada nyawa rakyatnya.

Ironi yang menyakitkan ini seharusnya menjadi tanda peringatan bagi kita semua. Negara yang tidak mampu melindungi rakyatnya di saat-saat paling sulit, yang menutup pintu bantuan di tengah keputusasaan korban, bukanlah negara yang seharusnya kita miliki. Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, tidak hanya wilayah yang terkena bencana, tapi juga cermin dari kelemahan yang ada di dalam sistem negara ini.

Bila pemerintah masih mempertahankan egonya, tidak mampu meletakkan nyawa rakyat di atas segala sesuatunya, maka penderitaan korban akan terus berlanjut. dan bayangan kegelapan akan terus meliputi bagian dari negeri yang tercinta ini. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER